spot_img
BerandaHumanioraKetika Maaf Tak Semudah Mengucap Terima Kasih

Ketika Maaf Tak Semudah Mengucap Terima Kasih

Psikolog keluarga menyebut, proses memaafkan tidak bisa dipaksa. Setiap individu memiliki waktu dan caranya sendiri untuk pulih. “Ada anak yang membutuhkan waktu panjang untuk berdamai dengan pengalaman masa kecilnya,” ujar seorang konselor keluarga di Solo. “Dan ketika ia belum siap memaafkan, bukan berarti ia membenci.”

Luka yang Tak Terlihat, Maaf yang Tak Tersampaikan

LESINDO.COM- Tidak semua orang siap memaafkan orang tuanya. Dan itu tidak apa-apa.
Marah bukan selalu tanda benci. Kadang, marah justru muncul karena seseorang mulai sadar: “Aku juga pantas diperlakukan dengan baik.”

Dalam banyak kasus, luka batin antara anak dan orang tua bukan perkara sederhana. Di balik pintu rumah, ada cerita tentang kata-kata yang tak pernah terucap, pelukan yang tak sempat diberikan, atau perhatian yang selalu tertunda. Bagi sebagian anak, luka itu menumpuk menjadi jarak yang sulit dijembatani bahkan setelah mereka dewasa.

Psikolog keluarga menyebut, proses memaafkan tidak bisa dipaksa. Setiap individu memiliki waktu dan caranya sendiri untuk pulih. “Ada anak yang membutuhkan waktu panjang untuk berdamai dengan pengalaman masa kecilnya,” ujar seorang konselor keluarga di Solo. “Dan ketika ia belum siap memaafkan, bukan berarti ia membenci.”

Sayangnya, masyarakat kerap terburu-buru memberi label: “anak durhaka.”
Padahal tak seorang pun tahu sebesar apa luka yang ditanggung. Banyak anak baru berani marah ketika sudah dewasa, karena di masa kecil mereka tak pernah punya ruang untuk menunjukkan rasa kecewa. Rasa takut, rasa terabaikan, semua tertimbun di balik kepatuhan yang dipaksakan.

Ironisnya, ketika keberanian itu akhirnya muncul, respons yang sering diterima justru: “Sudahlah, maafkan saja, mereka kan orang tua.”
Padahal dalam relasi manusia, meminta maaf tak mengenal usia maupun kedudukan. Siapa pun yang merasa bersalah, semestinya punya kerendahan hati untuk mengakuinya.

Mengucap “maaf” memang tidak semudah “tolong” atau “terima kasih”.
Kata “maaf” menuntut keberanian menundukkan ego dan mengakui kesalahan. Dalam budaya yang menjunjung hierarki, terutama dalam keluarga, pengakuan itu kerap dianggap sebagai kelemahan.

Namun justru di situlah makna sejatinya: meminta maaf adalah tanda kedewasaan.
Ia bukan sekadar kata, melainkan jembatan menuju pemulihan — bagi yang meminta maupun yang memberi.

Karena pada akhirnya, setiap luka hanya bisa sembuh jika ada kejujuran dan keberanian untuk saling menatap, tanpa lagi menyimpan dendam di balik diam.(Ros)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments