LESINDO.COM- Pagi itu, Sinta menatap layar laptopnya tanpa semangat. Email demi email masuk, tenggat waktu semakin dekat, namun pikirannya terasa kosong. “Rasanya seperti mesin yang kehabisan bensin,” ujarnya lirih. Usianya baru 27 tahun, tetapi ia sudah merasa “tua” karena kelelahan. Fenomena seperti yang dialami Sinta kini semakin sering muncul di kalangan pekerja muda. Istilah burnout — kelelahan fisik dan mental akibat stres berkepanjangan — bukan lagi hal asing. Badan Kesehatan Dunia (WHO) bahkan telah menetapkannya sebagai sindrom akibat stres kronis di tempat kerja.
“Burnout tidak terjadi tiba-tiba,” kata psikolog klinis dr. Lestari Anindita, M.Psi. “Ia muncul perlahan, saat seseorang terus memaksa diri tanpa jeda, kehilangan kendali atas beban kerja, dan tidak merasa dihargai.” Menurut survei yang dilakukan LinkedIn pada tahun 2024, hampir 40 persen pekerja di Indonesia mengaku pernah mengalami gejala burnout, mulai dari sulit tidur, kehilangan fokus, hingga menurunnya motivasi kerja.

Di balik kesibukan kantor modern dan tekanan untuk selalu produktif, banyak anak muda berjuang diam-diam. Mereka bekerja di kafe hingga larut malam, menatap layar komputer belasan jam, lalu merasa bersalah ketika mencoba beristirahat. “Aku takut dianggap malas,” kata Sinta. Namun, burnout bukan tanda kelemahan. Para ahli menegaskan bahwa mengenali batas diri adalah langkah pertama untuk pulih. Istirahat, berbagi cerita dengan orang terdekat, serta menata ulang prioritas menjadi kunci penting.
Kini, Sinta mulai belajar untuk berhenti sejenak. Ia rutin berjalan sore di taman, menutup laptop lebih awal, dan mengingatkan dirinya bahwa produktivitas tidak harus berarti bekerja tanpa henti. “Aku ingin kembali menikmati hidup, bukan sekadar mengejar tenggat,” tuturnya. Burnout adalah cermin zaman modern: ketika manusia berlomba dengan waktu dan melupakan dirinya sendiri. Di tengah hiruk pikuk produktivitas, mungkin yang paling berharga justru adalah keberanian untuk berhenti — dan bernapas sejenak. (cha)

