LESINDO.COM – Di sudut sekolah, perpustakaan berdiri tenang. Rak-rak buku berjejer rapi, sebagian sudah mulai berdebu. Aroma kertas yang dulu akrab dengan langkah-langkah siswa kini hanya sesekali tercium. Seperti jantung yang berdetak pelan, perpustakaan kini hidup di antara sepi dan kenangan masa lalu.
Dulu, tempat itu menjadi “jendela dunia” bagi para pelajar. Dari buku-buku di sana, mereka mengenal bumi yang luas, tokoh-tokoh hebat, hingga cerita-cerita yang menyalakan imajinasi. Namun kini, jendela itu mulai jarang dibuka. Pengunjung perpustakaan bisa dihitung dengan jari. “Anak-anak sekarang lebih senang mencari informasi lewat ponsel. Katanya lebih cepat,” ujar seorang pustakawan di salah satu sekolah negeri di Sukoharjo dengan senyum getir.

Fenomena ini memang bukan cerita tunggal. Survei UNESCO pernah mencatat, minat baca masyarakat Indonesia masih rendah, yakni hanya 0,001 persen — artinya dari 1.000 orang, hanya 1 yang benar-benar gemar membaca. Sementara itu, data BPS 2023 menunjukkan, 85 persen pelajar lebih sering membaca dari gawai dibandingkan buku cetak.
Di sisi lain, toko-toko buku pun ikut merasakan imbasnya. Beberapa toko besar menutup gerainya, kalah bersaing dengan platform digital. Hanya jaringan berskala nasional yang masih bertahan, itu pun dengan pengunjung yang melonjak hanya saat tahun ajaran baru. Setelah itu, lorong-lorong toko kembali lengang.
Namun, bukan berarti perpustakaan benar-benar kehilangan napas. Di beberapa sekolah, muncul upaya untuk menghidupkan kembali daya tariknya. Ada yang menata ulang ruang baca agar lebih estetik dan nyaman, ada pula yang menggabungkan sistem perpustakaan digital (e-library) agar koleksi buku bisa diakses melalui ponsel. “Kalau ingin mereka datang, kita juga harus hadir di dunia mereka,” kata seorang guru literasi di Solo.
Memang, zaman telah berubah. Buku tak lagi menjadi satu-satunya sumber ilmu, tetapi tetap menjadi tempat paling jujur untuk belajar tentang kehidupan. Mungkin, kini saatnya bukan sekadar mempertahankan perpustakaan — melainkan menghidupkannya kembali, menjadikannya ruang yang relevan dengan generasi yang tumbuh bersama layar. Sebab pada akhirnya, meski dunia bisa diakses dari genggaman, tak ada layar yang mampu menggantikan hangatnya halaman buku yang dibuka dengan rasa ingin tahu. (Din)