spot_img
BerandaHumanioraKetika Jalanan Menjadi Saksi Cinta Seorang Ayah

Ketika Jalanan Menjadi Saksi Cinta Seorang Ayah

Ia mengayuh bukan hanya karena harus hidup, tapi karena ia percaya: setiap kayuhan adalah langkah menuju masa depan anak-anaknya. “Kalau saya berhenti, mereka juga berhenti. Saya nggak mau itu terjadi,” ujarnya

Oleh: Machrus Muhamad

Pagi itu, matahari baru saja naik perlahan di balik gedung-gedung tua. Di antara deru kendaraan dan debu jalanan, seorang bapak tua terlihat mengayuh becaknya dengan tenaga tersisa. Kaos lusuh menempel di tubuhnya yang kurus, sementara keringat menetes tanpa henti dari keningnya. Namun di wajah yang renta itu, senyum tak pernah benar-benar pergi.

Namanya Pak Wiryo (57), tukang becak yang saban hari menjemput rezeki di sudut kota Kartasura. Ia memulai kayuhan sejak subuh, berharap bisa mengantarkan beberapa penumpang sebelum matahari terlalu tinggi. “Kalau sudah siang panasnya luar biasa, tapi kalau berhenti ya nggak makan,” ujarnya lirih, sambil mengusap peluh.

Pagi itu, becaknya membawa dua penumpang kecil — dua anak sekolah dasar dengan tas yang hampir sebesar tubuh mereka. Di wajah mereka terpancar semangat dan kebahagiaan yang sederhana. “Anak saya juga dua, seumuran itu,” kata Pak Wiryo tersenyum. “Kalau lihat anak kecil tertawa, rasanya capeknya hilang.”

Hidup dari Kayuhan

Setiap hari, Pak Wiryo menempuh jarak sekitar 15 hingga 20 kilometer. Kadang hanya mendapat beberapa penumpang, kadang tak ada sama sekali. Pendapatannya tidak menentu — bisa Rp30 ribu jika ramai, atau bahkan tak sampai Rp20 ribu jika hujan turun sejak pagi. Tapi bagi lelaki asal Klaten itu, menyerah bukan pilihan.

“Yang penting anak-anak bisa sekolah. Saya dulu nggak sempat sekolah tinggi, makanya saya nggak mau mereka ikut susah seperti bapaknya,” katanya pelan. Ia bercerita, anak pertamanya kini duduk di bangku SMA negeri, sedangkan yang bungsu baru naik kelas tiga SD.

Antara Lelah dan Doa

Menjadi tukang becak di era transportasi online bukan perkara mudah. Persaingan semakin ketat, penumpang makin jarang. Tapi bagi Pak Wiryo, becak bukan sekadar alat mencari nafkah — ia adalah simbol perjuangan dan keteguhan hati.

“Kalau dikasih sehat, ya saya terus narik. Saya nggak malu. Yang penting halal,” tuturnya. Di balik tubuh renta itu, ada tekad yang tak kalah kuat dari roda becaknya yang terus berputar.

Ia mengayuh bukan hanya karena harus hidup, tapi karena ia percaya: setiap kayuhan adalah langkah menuju masa depan anak-anaknya. “Kalau saya berhenti, mereka juga berhenti. Saya nggak mau itu terjadi,” ujarnya.

Peluh yang Mengandung Cinta

Di tengah hiruk-pikuk kota, sosok seperti Pak Wiryo sering luput dari pandangan. Padahal, di balik lelahnya ada kisah ketulusan yang jarang terucap. Setiap peluh yang menetes adalah bukti cinta, setiap kayuhan adalah doa yang bergerak.

Hidup mungkin tak pernah mudah bagi mereka yang berjuang di jalanan, tapi semangat seperti milik Pak Wiryo mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati tak hanya datang dari otot, melainkan juga dari hati yang tak pernah menyerah.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments