spot_img
BerandaHumanioraKetika Hidup Mengajak Kembali ke Nol

Ketika Hidup Mengajak Kembali ke Nol

Tidak ada yang sedih selamanya, tidak ada yang bahagia terus-menerus. Hidup itu seperti arus Bengawan yang mengalir di tengah kota—kadang tenang, kadang keruh, tetapi tetap bergerak karena itulah wataknya.

Di Bawah Langit Solo, Aku Belajar Sujud pada Takdir

LESINDO.COM – Pagi masih muda ketika saya tiba di perempatan Gladak, tempat di mana denyut Kota Solo seperti ditarik garis lurus dari masa ke masa. Udara lembap sisa subuh mengambang di antara pepohonan, dan dari kejauhan terdengar langkah-langkah kecil para pedagang yang mulai menata dagangan. Di sinilah, Titik Nol Solo, saya berhenti—tempat yang barangkali bagi orang lain hanya penanda koordinat, tetapi bagi saya adalah pusat gravitasi hidup yang pernah memanggil saya pulang.

Tahun 2000, setelah perjalanan panjang dan rasa lelah yang tak terucap, saya kembali ke kota ini. Dari titik inilah saya menjejak ulang kehidupan, menata arah yang sempat buyar, dan memulai perjalanan sebagai peliput budaya. Langkah kaki saya, yang dulu terasa ragu dan terseret, mengantar saya memasuki lorong-lorong Pasar Klewer, duduk di pelataran Keraton Kasunanan, atau mengikuti irama gamelan yang mengalun dari pendapa Mangkunegaran. Setiap liputan bukan hanya pekerjaan; ia adalah semacam laku, sebuah proses belajar mengenali diri sendiri lewat denyut kota yang membesarkan saya.

Di salah satu sisi jalan, berdiri tegap Patung Jenderal Slamet Riyadi—ikon kota yang seakan tidak pernah menua. Sejak dulu, patung itu menjadi saksi bisu bagaimana waktu berganti, bagaimana anak-anak berubah menjadi dewasa, dan bagaimana kota berputar melalui suka dan duka. Saya sering duduk di dekatnya, di bawah naungan rindang pohon, hanya untuk menenangkan pikiran atau sekadar merasakan bahwa saya masih berada di tempat yang sama, meski dunia di sekeliling tidak pernah berhenti berubah.

Dan pagi itu, saat car free day, saya menghentikan kayuhan sepeda saya tepat di bawah patung yang gagah itu. Nafas saya memburu, bukan karena jarak, tetapi karena kenangan yang seperti menumpuk begitu saja. Rasanya seperti bertemu sahabat lama—yang diam-diam selalu menjaga, tetapi tidak pernah mengeluh.

Saya membuka botol air putih dari tas sepeda. Meneguknya perlahan. Langkah hidup memang mirip bekal yang kita bawa di perjalanan; kadang cukup, kadang kurang, tetapi selalu diperlukan agar kita bisa terus melangkah. Kita hanyalah mampir ngombe di dunia ini, mengambil jeda sebentar sebelum kembali berjalan.

Dulu, saat awal-awal meliput, alat saya sederhana: kamera bekas yang lensa sering berkabut, buku catatan kecil yang sampulnya mulai lusuh, dan keinginan kuat untuk tidak berhenti mencari cerita. Kota Solo saya susuri dengan berjalan kaki, menyentuh setiap sudutnya dengan mata, telinga, dan rasa ingin tahu yang tak ada habisnya. Barangkali justru itu yang membuat saya bertahan—bukan karena kemampuan, tetapi karena kemauan. Karena keyakinan bahwa setiap langkah, betapapun kecilnya, selalu punya arti.

Seperti kayuhan sepeda saya pagi ini: tidak cepat, tidak pula sempurna. Tetapi pelan-pelan pasti. Saya tahu bahwa setiap orang membawa bebannya sendiri—kelelahan, kesedihan, keraguan. Hidup memang lengkap dengan itu semua. Kita diberi luka agar tahu rasanya sembuh. Kita diberi air mata agar bisa memahami arti senyum. Kita diberi cobaan agar tidak lupa bagaimana cara memohon.

Tidak ada yang sedih selamanya, tidak ada yang bahagia terus-menerus. Hidup itu seperti arus Bengawan yang mengalir di tengah kota—kadang tenang, kadang keruh, tetapi tetap bergerak karena itulah wataknya.

Menemukan diri sendiri setelah perjalanan panjang adalah anugerah yang tidak terhingga nilainya. Setiap orang punya misi hidupnya masing-masing, yang kadang tidak ia mengerti pada awalnya. Ada yang menemukannya di perantauan, ada yang menemukannya dalam kehilangan, ada pula yang menemukannya justru ketika kembali ke titik awal—seperti saya pagi itu.

Di bawah patung Slamet Riyadi, dengan sepeda yang berdiri tegak di samping saya, saya merasa seperti sedang bertemu dengan versi lama diri saya. Versi yang dulu penuh ragu, penuh takut, tetapi tetap berjalan juga. Saya ingin menepuk bahu diri saya yang dulu itu, mengatakan bahwa tidak apa-apa untuk lelah, untuk jatuh, untuk memulai lagi. Bahwa hidup memang begitu: selalu meminta kita kembali ke titik nol agar kita ingat untuk bersyukur, untuk menata ulang arah, dan untuk menyadari bahwa kita masih diberi kesempatan.

Doa-doa yang saya panjatkan selama bertahun-tahun, entah di teras masjid kecil, di pojok pasar yang riuh, atau di pinggir jalan saat menunggu narasumber, mungkin belum dikabulkan saat itu. Tapi saya belajar bahwa doa bukan hanya tentang hasil; doa adalah cara kita bertahan. Cara kita mengatakan kepada dunia bahwa kita ingin mencoba lagi.

Dan pagi itu, dengan angin tipis Solo yang menyentuh pelipis, saya kembali merasa lengkap. Tidak sempurna, tetapi cukup. Karena dari titik nol inilah saya belajar berdiri. Dari titik nol inilah saya belajar berjalan. Dari titik nol inilah saya belajar bahwa hidup tidak perlu terburu-buru—asal kita mau melangkah, arah akan kita temukan pada waktunya.

Dan hari itu, saya kembali melangkah. Pelan, tetapi pasti. Karena setiap perjalanan besar selalu dimulai dari satu langkah kecil—dan kadang, dari satu titik nol yang sama. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments