spot_img
BerandaHumanioraKetika Gusti Allah Diprovokasi

Ketika Gusti Allah Diprovokasi

“Nanging aja nganti keliru edan, inggoning edan kudu eling lan waspada.” (Tapi jangan sampai salah dalam kegilaan, dalam kegilaan pun harus tetap ingat dan waspada), Meski dunia gila, tetaplah berpikir jernih, jangan kehilangan arah atau kemanusiaan. (Pujangga Ronggowarsito)

LESINDO.COM – Di jagat yang semakin bising ini, doa pun kadang berubah wujud. Tak lagi lirih dan teduh, melainkan menjadi senjata yang diarahkan pada sesama manusia. Di satu sisi, ada mereka yang dicaci, dihina, namun masih menengadahkan tangan, memohon kekuatan dari Gusti Allah untuk bertahan dalam badai ujian yang tak pernah redup. Di sisi lain, ada pula yang berdoa agar lawannya hancur, agar yang dianggap jahat segera binasa dari pandangan dunia.

Ironis, sebab di antara dua doa itu, terselip provokasi yang halus seolah Gusti Allah diajak memihak, diajak melaknat, diajak menghancurkan makhluk-Nya sendiri. Seolah manusia ingin menjadikan Sang Pencipta sebagai sekutu dalam dendamnya.

Beginilah wajah dunia hari ini. Dunia yang penuh sorak kemenangan atas kehancuran orang lain. Dunia yang lupa bahwa setiap makhluk diciptakan bukan untuk saling menghabisi, melainkan untuk saling mengabdi kepada-Nya.

Ketika dua orang yang berdekatan sudah berteriak lantang menunjukan hatinya sudah jauh, karena jarak dekat dengan suara keras hartinya sudah tidak lunak lagi. (mac)

Mungkin benar kata pujangga agung Ronggowarsito, “Eling lan waspada.
Hanya mereka yang benar-benar eling ingat kepada Tuhan,
dan waspada tidak mudah terseret arus kebencian, yang mampu berjalan dengan hati jernih di tengah hiruk pikuk dunia yang saling menuding.

Ketika doa menjadi alat provokasi, di situlah tanda bahwa manusia mulai kehilangan arah. Sebab doa sejatinya bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk menumbuhkan; bukan untuk mengutuk, tapi untuk menyadarkan bahwa setiap manusia hanyalah hamba yang sama-sama butuh ampunan.

Manusia yang telah hilang rasa kemanusiaannya, peradaban manusia tercatat pertama kali dengan luka yang dalam pembunuhan. Dua anak Adam, Qabil dan Habil, menjadi saksi pertama dari tetesan darah di bumi ciptaan Allah. Sejarah mencatatnya, dan sayangnya bayangan itu terus membayang di lorong waktu  mengintai setiap langkah manusia yang lupa pada Nurani, hingga bumi ini akan berakhir dilipat oleh Sang Pemiliknya. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments