LESINDO.COM – Di usia 29 tahun, Dita tak pernah menyangka bahwa nyeri di ulu hati yang sering datang setiap malam bisa membuatnya kehilangan kesadaran. “Awalnya cuma perih biasa, saya pikir masuk angin,” tuturnya. Namun, malam itu berbeda. Sesak di dada menjalar hingga ke tenggorokan, membuat napasnya terengah. Ia pun dilarikan ke IGD — diagnosis dokter: GERD berat (Gastroesophageal Reflux Disease).
Fenomena seperti Dita kini bukan hal langka. Di media sosial, semakin sering kita mendengar kabar orang meninggal “akibat asam lambung”. Dulu, keluhan ini dianggap sepele. Kini, ia menjadi ancaman baru bagi generasi muda produktif.
Data yang Menggugah: Asam Lambung Naik, Angka Kasus Meroket
Secara global, jumlah penderita GERD meningkat tajam — dari 441 juta kasus pada 1990 menjadi 783 juta pada 2019, menurut data Global Burden of Disease Study. Tak terkecuali Indonesia. Sebuah survei daring terhadap hampir 10 ribu responden menunjukkan prevalensi GERD di masa pandemi melonjak menjadi 67,9 %, naik dari 61,8 % sebelum pandemi (PubMed, 2023). Yang mencengangkan, mayoritas responden adalah usia produktif 25–35 tahun. Sebuah riset Universitas Indonesia bahkan mencatat angka 57,6 % pada populasi muda dengan rata-rata usia 31 tahun.
Gaya Hidup Jadi Pemicu Utama
Para ahli sepakat, pola hidup modern menjadi biang kerok utama. Jadwal makan yang tidak teratur, konsumsi kafein dan makanan cepat saji, kebiasaan begadang, serta stres kerja yang tinggi memperburuk kondisi lambung. Tubuh kita tidak dirancang untuk terus dalam keadaan stres dan kekurangan tidur, kombinasi itu menekan sistem pencernaan. IGERD kini bukan hanya masalah medis, tetapi juga sosial—“Banyak pasien muda datang ke IGD dengan sesak dan nyeri dada, panik mengira serangan jantung. Padahal itu asam lambung.”
Komplikasi yang Bisa Mengancam Jiwa

Meskipun GERD sendiri jarang langsung menyebabkan kematian, ia dapat memicu komplikasi berbahaya, seperti: Peradangan esofagus (esofagitis), Perubahan sel pra-kanker (Barrett’s esophagus), Kanker esofagus, yang memiliki tingkat kematian tinggi. Sebuah studi dari BMJ Open (2020) mencatat, tingkat kematian akibat kanker esofagus pada pasien dengan GERD dua kali lipat lebih tinggi dibanding yang tidak mengidapnya. masalahnya, banyak pasien mengabaikan gejala dini, padahal kalau ditangani sejak awal, GERD bisadikendalikan.
Antara Informasi dan Ketakutan
Meninggal akibat “asam lambung” kini menjadi frasa yang sering muncul di media daring. Meski sebagian berita itu bersifat hiperbolik, faktanya GERD memang bisa memicu kematian tidak langsung — seperti gagal napas akibat aspirasi cairan asam ke paru-paru, atau komplikasi jantung sekunder. Sayangnya, banjir informasi tanpa edukasi justru menambah kecemasan masyarakat. Banyak penderita takut makan, sehingga tubuh kekurangan gizi. Di sisi lain, sebagian justru abai dan mengobati diri dengan obat warung.
Pesan dari Data dan Nyata
Kementerian Kesehatan RI menyebut penyakit lambung kini masuk dalam daftar keluhan pencernaan terbanyak di layanan primer. Di rumah sakit, kunjungan pasien muda dengan keluhan nyeri lambung dan sesak meningkat lebih dari 30% sejak pandemi. “Ini wake-up call bagi kita,” . “Asam lambung bukan sekadar penyakit orang tua. Ia adalah cermin gaya hidup kita hari ini.”
Menjaga Tubuh, Menata Hidup
Bagi Dita (24) yang pernah mengalami, ini pengalaman menjadi titik balik. Ia mulai mengatur jam makan, membatasi kopi, dan rutin olahraga ringan. “Saya pikir saya kuat karena masih muda. Ternyata tubuh juga punya batas,” katanya pelan. Kisah Dita adalah potret generasi produktif yang hidup dalam tekanan dan kecepatan. Di tengah tumpukan pekerjaan, sering kali kita lupa: tubuh juga butuh jeda. Asam lambung mungkin tampak sepele, tetapi jika diabaikan, ia bisa menjadi kisah yang berakhir tragis. (Cha)

