Oleh : Rr. Wening Jati
Kita sering terkejut pada satu pagi yang biasa-biasa saja:
tahu-tahu anak-anak sudah besar.
Sepatu mereka sudah jauh lebih besar dari rasa percaya diri kita.
Suara mereka sudah lebih tinggi dari tumpukan rencana hidup yang belum selesai.
Dan di tengah keheningan itu, muncul pertanyaan yang rasanya lebih menakutkan daripada laporan keuangan:
“Masih banyak yang belum aku kerjakan… lalu apa yang harus aku berikan untuk mereka?”
Kalau hidup ini pameran, mungkin kita sudah tutup stan dari lama—karena barang-barang yang mau dipamerkan belum juga jadi.
Kita masih sibuk mengejar pekerjaan, sibuk rapat, sibuk merasa lelah, sibuk menunda hal penting dengan alasan “nanti kalau sempat.”
Padahal “nanti” itu punya kebiasaan buruk:
ia sering tidak datang.
Anak-anak tumbuh seperti rumput setelah hujan: cepat, diam-diam, dan tidak pernah meminta izin.
Sementara kita tumbuh seperti file draft yang tidak pernah dikirim—penuh revisi, penuh keraguan.
Lalu apa yang harus diberikan?
Kalau mengikuti standar media sosial, kita harus memberi mereka rumah dua lantai, tabungan pendidikan, liburan tiap libur sekolah, dan album foto keluarga yang warna estetiknya konsisten.
Tentu saja kita ingin.
Hanya saja, hidup suka iseng—ia tidak bertanya apakah dompet kita sudah siap.
Yang menarik, anak-anak sebenarnya tidak sedang menunggu kita jadi sempurna.
Mereka hanya ingin kita hadir, meski kadang hadirnya sambil kecapekan.
Mereka tidak membutuhkan orang tua yang serba bisa, hanya orang tua yang mau mencoba.
Sayangnya, kita sering merasa gagal duluan sebelum berusaha.
Satirnya adalah:
kita sibuk mencari “apa yang harus diberikan”,
padahal yang paling mereka butuhkan biasanya hal-hal yang tidak pernah kita masukkan ke daftar to-do:
mengajak ngobrol tanpa terburu-buru,
mendengarkan tanpa menghakimi,
menjadi tempat pulang yang tidak membuat mereka merasa diukur dari nilai rapor atau lomba.
Orang tua ingin memberi dunia.
Padahal anak-anak hanya ingin kita memberi waktu.
Dunia itu bonus, bukan syarat.
Jadi kalau hari ini kita merasa banyak hal belum dikerjakan, itu wajar.
Semua orang tua merasakannya—bahkan yang terlihat paling sempurna sekalipun.
Yang tidak wajar adalah berhenti mencoba hanya karena merasa terlambat.
Karena, percaya atau tidak,
anak-anak lebih sering mengingat siapa kita, bukan apa yang kita berikan.
Sisanya?
Mari tertawa kecil pada kehidupan yang selalu membuat kita merasa kurang siap,
padahal justru di ketidaksiapan itulah mereka belajar melihat kita sebagai manusia—bukan robot penyedia fasilitas.
Itu hadiah terbaik yang bisa kita berikan.

