Oleh : Lembayung
Di Cilacap dan Banjarnegara, tanah tampaknya sudah masuk fase “ngluhankan hubungan.” Bukan lagi kode-kode halus, tapi sudah tegas melempar sinyal: retak tanah, banjir, longsor—semua itu semacam status WA alam yang berbunyi, “Terserah. Aku capek.”
Longsor di Banjarnegara seperti curhat seorang ibu yang rumahnya terus diberantaki anaknya, tapi anak itu selalu merasa dirinya tidak bersalah. “Wah, kok tanahnya ambruk?” begitu tanya manusia, padahal manusialah yang tiap hari mencongkel bukit, menebang pohon, dan membangun rumah di tepi jurang karena “view-nya bagus.”
View-nya bagus, iya.
View-nya runtuh, lebih iya lagi.
Cilacap pun sama. Air hujan turun deras, sungai meluap, pemukiman tergenang. Lalu manusia bingung—seolah banjir itu makhluk halus yang datang tanpa permisi. Padahal sungai sudah dari dulu punya jalur tetap. Kita saja yang mengusir air dan bilang, “Sori ya, sungai. Ini sekarang jadi lokasi perumahan elit.”
Kalau alam bisa bikin konferensi pers, mungkin ia akan berkata:
“Mohon maaf, manusia yang terhormat… aku sudah sabar sejauh ini. Tapi kalian itu lho: kalau aku panas, kalian bilang aku kejam. Kalau aku hujan, kalian bilang aku lebay.”
Pertanyaan besar pun muncul dalam hati kita yang paling dalam—atau paling dangkal:
Kenapa alam sudah tidak bersahabat lagi dengan manusia?
Sebenarnya alam masih bersahabat.
Yang tidak bersahabat itu manusia.
Bahkan kalau bersahabat pun sifatnya seperti teman yang numpang makan, numpang tidur, tapi tidak pernah bantu cuci piring.
Manusia menebang pohon, lalu memposting #SaveEarth.
Membuang sampah di sungai, lalu mengeluh banjir.
Mengasapi langit dengan pembakaran, lalu heran kenapa cuaca makin panas.
Mendirikan bangunan di tanah rawan longsor, lalu menyalahkan “takdir” ketika rumahnya meluncur seperti perosotan alami.
Satirnya adalah:
kita menuntut alam stabil, padahal manusia sendiri labil.
Dalam falsafah Jawa, ada pepatah,
“Urip iku kudu selaras.”
Tapi manusia memodifikasinya menjadi:
“Urip iku kudu serakah… selaras-selaras arep kapan.”
Gunung yang menguap di Semeru—dengan awan panasnya—bukan sedang marah. Ia hanya sedang melakukan pekerjaan rutinnya sejak ribuan tahun lalu. Yang marah itu manusia, karena jadwal hidupnya terganggu.
Akhirnya hubungan manusia dan alam kini ibarat hubungan toxic.
Manusia merusak, alam menegur.
Manusia baper, alam makin keras.
Manusia ngambek, alam mengirim banjir satu paket dengan longsor.
Kalau alam bisa DM kita, mungkin isinya begini:
“Maaf, kita break dulu. Bukan kamu, kok.
…ya kamu sih sebenarnya.”
Dan kalau kita tak segera berubah, jangan kaget kalau suatu hari bumi benar-benar bilang:
“Aku cabut. Kowe urip sak karepmu wae.”
Pada akhirnya, bencana ini bukan sekadar cerita tanah yang bergerak.
Ini cerita tentang manusia yang tidak pernah bergerak memperbaiki diri.
Karena alam, meskipun kuat, juga punya batas sabar.
Dan ketika batas itu lewat,
satir terbesar adalah kita yang masih bertanya-tanya:
‘Kenapa semua ini terjadi?’

