spot_img
BerandaHumanioraKetika 17 Tahun Sekolah Tak Selalu Menemukan Pintu Pekerjaan

Ketika 17 Tahun Sekolah Tak Selalu Menemukan Pintu Pekerjaan

Sebagian orang menyebut fenomena ini sebagai seleksi alam: siapa kuat, dia bertahan. Siapa kreatif, dia menang. Namun seleksi alam tidak perlu berjalan brutal bila sistem pendidikan mampu mempersiapkan manusia menghadapi dunia yang tidak pasti.

Oleh : Permadi W

Pendidikan dan Realitas Lapangan Kerja

Di sebuah warung kecil dekat terminal kota, seorang pemuda berseragam jaket hijau menghela napas panjang setelah memarkir motornya. Namanya Tio, 25 tahun, lulusan salah satu perguruan tinggi swasta. Lima tahun kuliah teknik informatika, tetapi hari-harinya kini dihabiskan mengantar pesanan makanan dan paket. “Lumayan, Mas. Wong kerjaan yang sesuai ijazah ora ketemu,” ujarnya sambil tersenyum pahit.

Cerita seperti Tio bukan satu dua. Kita punya sistem pendidikan panjang:
SD 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun, kuliah 4–5 tahun.
Total lebih dari 17 tahun belajar—dengan berbagai mata pelajaran yang dijejalkan, ujian yang diprioritaskan, dan nilai yang menjadi barometer utama. Namun begitu menyelesaikan pendidikan panjang itu, banyak yang justru merasa gamang menghadapi dunia nyata.

Pertanyaannya sederhana, tapi menyesak:
Apakah ada yang keliru dengan pendidikan kita?

Pendidikan yang Panjang, Tetapi Kreativitas yang Tidak Tumbuh

Di banyak sekolah, kreativitas sering kali menjadi tamu, bukan tuan rumah. Kurikulum berubah, tetapi pola pikirnya kerap tinggal di tempat: siswa duduk, mendengar, mencatat, menghafal. Ruang untuk bertanya, mempertanyakan, atau mengembangkan gagasan sering kali sempit—bahkan dianggap mengganggu.

Di perguruan tinggi pun situasinya tak selalu berbeda. Banyak mata kuliah didesain untuk kepatuhan, bukan keberanian berpikir. Akibatnya, mahasiswa lulus dengan ijazah, tetapi tidak punya peta menuju masa depan.

Seorang guru tua di Sragen pernah berkata,
“Wong sekolah kok mung digembleng nganggo angka, ora nganggo rasa.”
Sekolah panjang, tetapi bekal menghadapi hidup terasa pendek.

Lapangan Kerja: Peminat Banyak, Pintu Sedikit

Sejak bocah didorong “ngudi kawruh” setinggi-tingginya, tetapi pada akhirnya takdir sering punya kehendaknya sendiri—kadang lembut, kadang menyelipkan getir. (mc)

Pasar kerja tidak tumbuh secepat angka lulusan. Kesempatan kerja menyempit sementara jumlah pencari kerja membengkak. Mereka yang memiliki keterampilan lebih, jaringan luas, atau sekadar “beruntung”, lebih mudah menembus persaingan.

Sementara itu, ribuan lulusan perguruan tinggi lainnya mengalir ke pekerjaan yang tidak relevan dengan bidang ilmunya. Ada yang menjadi kasir, penjual pulsa, barista, bahkan banyak yang beralih ke profesi ojek online, karena itulah yang paling cepat memberikan nafkah.

Bukan kehendak hati—hanya kebutuhan hidup.

Seleksi Alam atau Kegagalan Sistem?

Sebagian orang menyebut fenomena ini sebagai seleksi alam: siapa kuat, dia bertahan. Siapa kreatif, dia menang. Namun seleksi alam tidak perlu berjalan brutal bila sistem pendidikan mampu mempersiapkan manusia menghadapi dunia yang tidak pasti.

Sistem pendidikan yang sehat seharusnya:

  • Membekali siswa berpikir adaptif,
  • Menumbuhkan inisiatif,
  • Mengasah kreativitas,
  • Membuka ruang untuk eksplorasi minat,
  • dan menghubungkan pendidikan dengan realitas industri.

Namun dalam praktiknya, pendidikan kita lebih sering menjadi jalur panjang menuju ijazah, bukan jembatan menuju masa depan.

Bertahan Hidup: Jalan Panjang Anak-anak Muda

Pada akhirnya, banyak generasi muda mengambil jalannya sendiri. Ada yang membuka usaha kecil, meski bukan bidangnya. Ada yang kembali ke kampung, bertani atau berdagang. Ada yang memilih ojol karena memberi kebebasan dan pemasukan harian. Sebagian kecil berhasil tumbuh, sebagian lain masih meraba-raba.

Mereka bertahan, meski sistem tidak sepenuhnya berpihak.

Dalam budaya Jawa ada pepatah:
“Urip iku sawang sinawang.”
Kita melihat orang lain tampak berhasil, tapi tak tahu perjuangan panjang di baliknya.

Menoleh Kembali ke Ruang Kelas

Barangkali yang kita butuhkan bukan hanya reformasi kurikulum, tetapi reformasi cara pandang:
bahwa pendidikan bukan sekadar ritual berjenjang 17 tahun, tetapi perjalanan memanusiakan manusia.

Mengajar tidak cukup dengan mengisi kepala, tetapi juga membangun keberanian untuk berdiri di atas kaki sendiri. Menyiapkan anak muda bukan hanya untuk mencari pekerjaan—tetapi menciptakan kesempatan.

Sebab kalau tidak, cerita Tio dan ribuan pemuda lain akan terus berulang:
lulusan perguruan tinggi yang kembali ke titik nol, berjuang sendiri di tengah hiruk-pikuk kota, sambil bertanya dalam hati—
“Lha terus gunane sekolahku sak suwene iki apa?”

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments