Oleh : Rr. Wening Jati
Dalam ritme kesibukan sehari-hari—di antara tenggat waktu, percakapan, dan hiruk-pikuk dunia digital—kita sering lupa bahwa tindakan-tindakan kecil justru membentuk suasana di sekitar kita. Kearifan Jawa memberikan pengingat lembut melalui ungkapan “Aja dumeh”, ajakan untuk tidak bersikap sombong hanya karena kita memiliki kelebihan, posisi, atau kekuatan tertentu. Meski berasal dari masa lampau, pesannya justru terasa semakin relevan hari ini.
Perilaku hormat tidak selalu hadir melalui tindakan besar, tetapi lewat pilihan-pilihan sederhana setiap hari. Ia tampak ketika kita mau mendengarkan dengan sabar, bahkan ketika kita sebenarnya bisa menyelesaikan kalimat orang lain. Ia muncul saat kita memilih kebaikan daripada sekadar merasa “paling benar”, atau ketika kita menempatkan empati di atas efisiensi. Inti dari “Aja dumeh” menantang kita untuk berhenti sejenak sebelum bertindak atas dasar ego—sebelum merasa bahwa kenyamanan kita lebih penting daripada kenyamanan orang lain.
Di dunia yang dipenuhi obsesi akan eksistensi dan pengakuan, kerendahan hati terasa semakin langka. Padahal, rendah hati bukan berarti merendahkan diri; tetapi memahami bahwa setiap orang membawa cerita, ketakutan, dan harapan yang layak dihargai. Ketika kita menahan diri untuk tidak mendominasi suatu keadaan, kita memberi ruang bagi pemahaman bersama. Ketika kita menolak menggunakan pengetahuan, posisi, atau privilese sebagai alat untuk meremehkan orang lain, kita sedang menegaskan nilai mereka sebagai sesama manusia.
Menghormati sesama adalah bentuk kesadaran—niat harian untuk hadir secara utuh, berbelas kasih, dan sadar akan dampak tindakan kita. Artinya, menutup laptop agar dapat benar-benar mendengar rekan kerja, mengucapkan terima kasih kepada mereka yang sering tak terlihat kontribusinya, atau menawarkan bantuan tanpa mengharapkan balasan. Pilihan-pilihan kecil ini membangun landasan kepercayaan dan kehangatan dalam komunitas kita.
Pada akhirnya, “Aja dumeh” mengajak kita menjadi manusia yang lebih lembut. Bukan agar kita tampak baik, tetapi agar kita tetap terhubung pada kemanusiaan bersama yang menopang hidup ini. Rasa hormat tumbuh ketika kita memahami bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada meninggikan diri, melainkan pada menguatkan satu sama lain melalui tindakan sederhana yang penuh perhatian—hari demi hari, dari satu momen ke momen berikutnya.

