Pikul di Bahu Pikul Kehidupan
LESINDO.COM – Di tengah hiruk-pikuk jalanan kota, seorang lelaki tua berjalan perlahan dengan bahu terbebani dagangan. Di kanan-kiri pikulannya, bergelantungan peralatan rumah tangga gayung, sapu, sikat, hingga ember berwarna-warni. Benda-benda sederhana itu menjadi saksi bisu perjuangan hidup yang tak pernah berhenti, meski usia telah menua. Garis-garis keriput di wajah adalah jejak waktu, penanda bahwa hidup telah mengajarkan betapa perjalanan ini bukanlah perkara mudah. Setiap lekukannya menyimpan kisah perjuangan, kesabaran, dan kekuatan yang teruji oleh hari demi hari. Mata yang mulai redup itu masih setia menatap jalanan. Entah sudah berapa ribu kilometer kaki ini melangkah, meski tak lagi sekuat dulu. Namun, langkah tetap dipaksa maju digerakkan oleh sisa tenaga dan dijaga tetap menyala oleh semangat yang tak pernah padam.
Kemeja putih yang lusuh dan peci hitam di kepalanya tak mampu menyembunyikan wibawa seorang pekerja keras yang tak menyerah pada keadaan. Peci hitam sederhana menutupi kepalanya, berpadu dengan kemeja putih kusam yang telah menemani hari-harinya berdagang. Setiap langkah kakinya seperti mengajarkan arti sebuah kesabaran bahwa hidup, sesulit apa pun, tetap harus dijalani. Ia bukan sekadar pedagang keliling. Ia adalah potret tentang kegigihan, tentang manusia yang berjuang melawan waktu dengan tenaga yang tersisa. Di bahunya ia tidak hanya memanggul barang dagangan, tetapi juga memanggul harapan untuk bertahan, untuk memberi makan keluarga.
Dalam dirinya tergambar filosofi Jawa yang sederhana namun dalam: “urip iku urup” hidup harus menyala, memberi arti bagi orang lain meski dengan langkah kecil di jalanan kota yang ramai. Raut wajahnya memperlihatkan kelelahan, namun juga keteguhan hati seorang pekerja keras yang menggantungkan hidup dari hasil jerih payah sendiri.Hidup baginya adalah perjalanan yang harus dijalani dengan tegak, tanpa bergantung pada orang lain, tanpa menjadi beban, apalagi menengadahkan tangan di jalanan. Ia percaya, martabat sejati bukan diukur dari harta atau kedudukan, melainkan dari kesanggupan untuk tetap berdiri di atas kaki sendiri.
Setiap hari ia belajar mensyukuri apa yang ada, merangkul keadaan dengan ikhlas meski sederhana. Tidak ada keluhan yang dibiarkan tumbuh, karena ia tahu hidup selalu lebih indah bila disyukuri. Selama napas masih berhembus, selama kesehatan meski tak sekuat dulu tetap menyertai, ia menolak tunduk pada kelemahan. Sisa tenaga yang ada baginya bukan alasan untuk berhenti, melainkan alasan untuk terus melangkah. Inilah keteguhan hatinya hidup dengan bermartabat, penuh rasa syukur, dan pantang menyerah hingga langkah terakhir. (Adre)