LESINDO.COM – Di tengah dunia yang semakin berisik oleh ambisi dan perebutan kuasa, orang Jawa punya pandangan sederhana tentang hidup: semuanya harus seimbang — antara memberi dan menerima, antara memiliki dan melepaskan.
Dalam pandangan leluhur Jawa, kekuasaan, dalam bentuk apa pun — jabatan, ilmu, atau pengaruh — diibaratkan seperti kendhil, wadah tanah liat tempat menampung air. Kuasa yang dimiliki seseorang disimpan di dalam wadah itu. Namun, seperti halnya kendhil, wadah itu punya batas.
“Kalau wadah terus diisi tanpa dikosongkan, ia akan meluap. Begitu juga kekuasaan, kalau terlalu penuh, justru menghancurkan pemiliknya,” tutur Budayawan Jawa, Suwardi Endraswara, saat ditemui di Yogyakarta beberapa waktu lalu.
Falsafah lama ini menekankan pentingnya mengosongkan diri sebelum menerima hal baru. Bagi orang Jawa, melepaskan bukan tanda kalah, melainkan bentuk kebijaksanaan. Hanya dengan mengosongkan sebagian wadah, seseorang bisa menampung pengalaman atau kuasa yang lebih besar.
“Konsep ini bukan hanya soal politik atau jabatan,” lanjut Suwardi, “tetapi tentang bagaimana manusia menjaga keseimbangan batin dan lahir. Orang Jawa percaya, keseimbangan adalah sumber harmoni hidup.”
Falsafah “kendhil kuasa” ini juga menumbuhkan sikap ikhlas dan eling — dua nilai utama dalam laku hidup orang Jawa. Ikhlas berarti rela melepaskan tanpa pamrih, sementara eling mengingatkan manusia agar tidak lupa pada asal-usul dan batas dirinya.
Ketika banyak orang berlomba mengejar kekuasaan dan pengakuan, ajaran leluhur ini menjadi semacam pengingat halus: hidup bukan soal siapa yang memiliki lebih banyak, melainkan siapa yang mampu menjaga wadahnya tetap utuh — tidak tumpah, tidak kosong, dan selalu seimbang.
Seperti kata pepatah Jawa, “Urip iku sawang-sinawang.” Hidup hanyalah cara kita memandang dan mengelola isi dalam wadah kehidupan masing-masing. Karena pada akhirnya, keseimbanganlah yang membuat hidup menjadi tenteram. (Ren)

