spot_img
BerandaBudayaKeberagaman yang Kerap Kita Rayakan, Jarang Kita Rawat

Keberagaman yang Kerap Kita Rayakan, Jarang Kita Rawat

Indonesia, pada akhirnya, bukan sekadar peta geografis. Ia adalah anyaman nilai, sejarah, dan manusia. Keberagaman bukan beban, melainkan anugerah. Dalam perbedaan itulah Indonesia menemukan dirinya—rapuh namun kuat, beragam namun satu.

Oleh Tilottama

Indonesia kerap dirayakan sebagai bangsa yang majemuk. Namun keberagaman itu sesungguhnya bukan sekadar fakta statistik, melainkan ujian kebudayaan: mampukah negeri dengan lebih dari 1.300 suku bangsa ini merawat perbedaan sebagai kekuatan, bukan sumber kerapuhan?

Indonesia tidak lahir dari satu rahim kebudayaan. Ia tumbuh dari ribuan rahim, dari pegunungan sunyi hingga pesisir yang riuh, dari hutan purba sampai kota-kota yang tak pernah tidur.  Banyaknya suku bangsa hidup di negeri ini—masing-masing membawa kisah, watak, dan kebijaksanaan yang menjadi benang-benang halus penyusun identitas bangsa.

Di tanah Jawa, harmoni menjadi napas kehidupan. Suku Jawa—yang jumlahnya paling besar—menyumbangkan cara pandang tentang keseimbangan: antara kata dan rasa, antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Gotong royong bukan sekadar kerja kolektif, melainkan laku hidup. Dalam kesederhanaan unggah-ungguh dan filosofi nrima, masyarakat Jawa belajar bertahan dan beradaptasi, bahkan ketika zaman berubah dengan cepat.

Bergeser ke Bali, kehidupan seolah berdenyut dalam irama upacara. Bagi orang Bali, agama bukan sekadar ritual, melainkan denyut keseharian. Setiap sesaji adalah doa, setiap tarian adalah pengabdian. Tri Hita Karana—harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan—menjadi fondasi kebudayaan yang membuat Bali tak sekadar indah dipandang, tetapi juga dalam dimaknai.

Di jantung Kalimantan, suku Dayak hidup sebagai penjaga rimba. Hutan bukan objek eksploitasi, melainkan ruang hidup yang diwariskan leluhur. Keberanian mereka melegenda, namun kebijaksanaan ekologis merekalah yang kini terasa paling relevan. Jauh sebelum istilah “krisis iklim” dikenal, orang Dayak telah mempraktikkan hidup selaras dengan alam.

Setiap suku menyimpan tata cara adat dan upacara tradisi yang unik, menjadi penanda identitas sekaligus cermin kebijaksanaan leluhur.(mc)

Sementara itu, di tanah Pasundan, kelembutan menjadi karakter. Suku Sunda dikenal dengan tutur kata yang ramah dan filosofi silih asih, silih asah, silih asuh. Di sana, hidup dijalani dengan rasa saling merawat—sebuah nilai yang kian langka di tengah budaya kompetisi yang keras.

Lebih sunyi lagi, di pedalaman Banten, suku Baduy memilih berjalan melawan arus zaman. Tanpa alas kaki, tanpa listrik, tanpa mesin, mereka menjaga pikukuh adat sebagai janji kepada bumi. Dalam keteguhan menolak modernitas, orang Baduy seakan mengingatkan: kemajuan tidak selalu berarti kebahagiaan.

Di luar itu, Indonesia terus bertutur melalui suku-suku lainnya. Orang Minangkabau mengajarkan keberanian merantau dan sistem matrilineal yang unik di dunia. Bugis dan Makassar mengarungi laut dengan siri’ sebagai kompas harga diri. Dani dan Asmat merawat seni ukir yang lahir dari relasi intim dengan alam Papua. Batak menjaga ikatan marga yang kokoh, menjadikan persaudaraan sebagai rumah bersama di mana pun berada.

Indonesia, pada akhirnya, bukan sekadar peta geografis. Ia adalah anyaman nilai, sejarah, dan manusia. Keberagaman bukan beban, melainkan anugerah. Dalam perbedaan itulah Indonesia menemukan dirinya—rapuh namun kuat, beragam namun satu.

Sebab bangsa besar bukanlah bangsa yang seragam, melainkan bangsa yang mampu merawat perbedaan sebagai kekayaan bersama.

 

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments