spot_img
BerandaBudayaKebaya di Minggu Pagi: Senam, Sehat, dan Cara Ibu-Ibu Merayakan Dirinya Sendiri

Kebaya di Minggu Pagi: Senam, Sehat, dan Cara Ibu-Ibu Merayakan Dirinya Sendiri

LESINDO.COM – Pagi itu, Minggu belum sepenuhnya terjaga ketika jalanan kampung RT 03 RW 13 Pucangan, Kartasura, mulai dipenuhi warna. Bukan warna mencolok khas pakaian olahraga, melainkan lembut dan anggun—kebaya. Kain-kain berpotongan klasik itu dikenakan para ibu dengan senyum ringan, seolah pagi ini memang pantas dirayakan dengan cara yang berbeda.

Biasanya, Minggu pagi adalah rutinitas yang nyaris seragam: senam bersama, musik aerobik, pakaian olahraga yang praktis. Namun pagi ini, para ibu memilih menengok sejenak ke belakang, pada identitas yang kerap mereka kenakan dalam peristiwa-peristiwa penting hidupnya. Kebaya—busana yang selama ini lekat dengan acara resmi, hajatan, atau peringatan adat—kini bergerak luwes mengikuti irama senam aerobik.

Di tengah gerak yang tak berhenti itu, kebaya tetap tegak sebagai simbol. Ia bukan sekadar kain dan potongan, melainkan penanda jati diri perempuan Indonesia—anggun tanpa harus diam, kuat tanpa kehilangan kelembutan. Pagi itu, di antara napas yang mulai menyatu dan langkah yang kian mantap, kebaya menemukan maknanya yang lain: tradisi yang hidup, bergerak, dan terus bernapas bersama zaman. (mc)

Langkah-langkah senam tetap sama, keringat tetap menetes, tetapi suasananya berubah. Ada tawa kecil saat kebaya tersingkap tertiup angin pagi, ada rasa bangga yang tak diucapkan ketika kain dan konde sederhana menyatu dengan gerakan olahraga. Di sinilah tubuh dan budaya bertemu tanpa harus saling meniadakan.

Kegiatan ini digelar dalam rangka memperingati Hari Ibu. Namun peringatan itu tak hadir dalam bentuk pidato panjang atau upacara resmi. Ia hadir lewat tubuh-tubuh yang bergerak, lewat pilihan busana, lewat kesadaran bahwa merawat diri sendiri juga bagian dari merawat keluarga.

Usai senam, suasana semakin cair. Para ibu berkumpul, saling menilai kebaya yang dikenakan—bukan untuk mencari siapa yang paling unggul, melainkan sebagai ruang saling mengapresiasi. Penilaian kebaya menjadi simbol kecil bahwa setiap ibu berhak merasa cantik, pantas, dan dihargai.

Ketua RT 03, Partanto, menyaksikan kegiatan itu dengan sikap sederhana. Ia tak merasa perlu mengatur terlalu jauh. Menurutnya, kegiatan ibu-ibu di wilayahnya telah berjalan dengan kesadaran dan kemandirian yang kuat.

Irama musik memandu tubuh-tubuh yang bergerak energik. Kebaya dengan beragam warna berpadu di bawah sinar matahari pagi, menyerupai pelangi yang turun ke halaman—hidup, hangat, dan penuh gairah. Keringat menetes, tawa sesekali pecah, namun napas perlahan mulai tertata, seirama dengan denyut pagi yang kian terang.(mc)

“Tidak perlu diarahkan,” ujarnya. “Ibu-ibu ini sudah punya program sendiri yang berjalan. Kami di RT hanya bisa mensupport.”

Baginya, kesehatan ibu-ibu adalah fondasi yang sering luput diperhitungkan. Ketika para ibu sehat, aktivitas keluarga berjalan lancar. Sebaliknya, satu saja sakit, ritme kehidupan rumah tangga bisa terganggu.

“Kalau ibu-ibunya sehat, aktivitas di keluarga tidak ada masalah. Tapi kalau ibu sakit, semuanya ikut terganggu,” tambahnya, lugas.

Menariknya, senam dengan atribut kebaya ini bukan gagasan dari pengurus atau tokoh wilayah. Inisiatif sepenuhnya datang dari ibu-ibu sendiri. Sebuah kesepakatan sederhana di dalam kelompok, lahir dari obrolan ringan, lalu diwujudkan tanpa hiruk-pikuk.

Di situlah maknanya tumbuh. Kebaya tidak lagi sekadar busana tradisi, melainkan pernyataan halus: bahwa menjadi ibu bukan berarti kehilangan ruang untuk merawat tubuh, mengekspresikan diri, dan merayakan kebersamaan.

Pagi itu, kebaya tak hanya dikenakan—ia dihidupkan. Bergerak, berkeringat, dan tertawa bersama. Di jalanan kampung  kecil RT 03 RW 13 Pucangan, Hari Ibu dirayakan bukan dengan kata-kata besar, melainkan dengan kesadaran yang sederhana: ibu yang sehat, bahagia, dan saling menguatkan adalah pusat kehidupan yang sesungguhnya. (Din)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments