spot_img
BerandaHumanioraKebaikan yang Berbicara Sendiri

Kebaikan yang Berbicara Sendiri

Dunia menjadi hidup justru karena tarik-menarik dua kutub itu: positif dan negatif, baik dan buruk, pro dan kontra. Tanpa keduanya, kehidupan akan terasa sunyi, datar, dan kehilangan warna. Kita butuh gelap untuk mengenal terang, kita butuh badai untuk menghargai tenangnya laut. Keseimbangan bukanlah ketiadaan perbedaan, melainkan kemampuan menerima keberadaannya.

Oleh Redaksi Humaniora

Di antara hiruk-pikuk dunia yang serba cepat, kita sering lupa bahwa setiap diri membawa medan magnetnya sendiri. Bukan magnet logam, melainkan getaran halus yang lahir dari pikiran, perasaan, dan niat. Setiap langkah, ucapan, bahkan tatapan — semua memancarkan energi yang bisa menarik atau menolak sesuatu di sekitar kita. Begitulah cara semesta bekerja: diam-diam, tapi pasti.

Energi itu selalu mencari keseimbangannya. Dalam setiap pancaran, selalu ada tarikan dan tolakan. Tidak semua yang kita tebarkan akan diterima, dan tidak semua yang kita tolak akan menjauh. Ibarat jual beli, ada yang memproduksi dan ada yang membeli. Ide, gagasan, bahkan sekadar bualan pun, selalu menemukan peminatnya sendiri.

Dunia menjadi hidup justru karena tarik-menarik dua kutub itu: positif dan negatif, baik dan buruk, pro dan kontra. Tanpa keduanya, kehidupan akan terasa sunyi, datar, dan kehilangan warna. Kita butuh gelap untuk mengenal terang, kita butuh badai untuk menghargai tenangnya laut. Keseimbangan bukanlah ketiadaan perbedaan, melainkan kemampuan menerima keberadaannya.

Namun ada satu hal yang tak bisa disembunyikan: keburukan. Sekuat apa pun dibungkus dengan kata-kata indah, kebenaran hatinya akan tetap tampak. Karena di dalam diri manusia, ada segumpal daging yang menentukan arah — hati. Bila hati itu bersih, ucapan dan tindakan pun akan jernih; bila ia keruh, maka semuanya akan kehilangan makna.

Menebarkan kebaikan bukan perkara ingin dipuji atau diikuti. Ia tumbuh dari kesadaran batin bahwa hidup ini hanya sementara, dan setiap energi yang kita pancarkan akan kembali kepada kita. Kebaikan sejati tidak memerlukan pengakuan. Ia bekerja dalam senyap, berbicara tanpa suara, dan tetap hidup meski tak ada yang menyaksikan.

Pada akhirnya, kebaikan akan menemukan jalannya sendiri. Ia tak butuh pembela, tak butuh panggung, karena ia hidup dari sanubari yang dalam. Seperti medan magnet yang tak terlihat, kebaikan selalu terasa — lembut, menguatkan, dan abadi.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments