spot_img
BerandaJelajahKayu-Kayu yang Turun dari Bukit dan Nurani yang Tak Kunjung Turun

Kayu-Kayu yang Turun dari Bukit dan Nurani yang Tak Kunjung Turun

Topan Senyar hanya mempercepat apa yang selama ini disiapkan perlahan: gunungan luka ekologis yang menunggu satu pemicu untuk runtuh. Dan ketika runtuh, ia tidak memilih korban—semua digulung tanpa peduli siapa pelaku, siapa penonton, siapa yang sebenarnya menjaga bumi.

Oleh Kang Mad

Topan Senyar mengamuk di barat laut Indonesia, tapi sejatinya bukan badai yang paling buas—melainkan ingatan kita yang pendek dan kebijakan yang panjang akal tapi pendek nurani.
Hujan berhari-hari mengguyur, tanah longsor, sungai meluap, dan kampung-kampung hilang seolah diseka dari peta. Namun Senyar tidak datang sendirian. Ia membawa oleh-oleh: kiriman balak—batang-batang pohon raksasa yang meluncur bersama banjir bandang, seperti “surat pembaca” dari hutan yang sudah lama tak didengar.

Kayu-kayu itu datang dalam segala ukuran: ada yang cukup panjang untuk dijadikan jembatan darurat, ada yang cukup besar untuk meratakan rumah tanpa ampun, ada pula yang bentuknya masih segar, seolah baru kemarin dilepas dari pelukan bumi. Masyarakat menatapnya dengan campuran ngeri dan pahit:
ini bukan kayu hanyut biasa, ini bukti kejahatan ekologis yang akhirnya keluar ke permukaan—secara harfiah.

Di tengah kekacauan, warga hanya bisa saling menunjuk satu sama lain:
“Ini kayu dari mana?”
“Dari hilir mana?”
“Dari kebijakan siapa?”

Pertanyaan yang sesungguhnya tidak perlu jawaban, karena semua orang—bahkan anak sekolah dasar yang baru belajar IPA—sudah tahu:
batang-batang itu tidak jatuh dari langit.
Mereka bukan hadiah dari Senyar, bukan pula makhluk mitologi yang muncul dari dasar sungai. Mereka adalah jejak panjang pembalakan, legal maupun ilegal, yang selama puluhan tahun dianggap “maaf, ini risiko pembangunan.”

Sementara warga sibuk menyelamatkan diri dari kayu yang meluncur seperti peluru, di tempat lain para pejabat menggelar konferensi pers dengan nada yang akrab di telinga publik:
“Ini fenomena alam ekstrem.”
“Curah hujan di luar perkiraan.”
“Kita akan bentuk tim investigasi.”

Semuanya terdengar rapi dan terukur—kecuali satu hal: tidak ada satu pun yang berani mengucap “deforestasi.”
Kata itu seperti hantu yang ditakuti, padahal justru hantu itu yang kini menampakkan diri dalam bentuk paling kasar: kayu-kayu yang menghantam jembatan, mengubur sawah, dan meruntuhkan rumah.

Bagi masyarakat, kedatangan kayu itu seperti mengungkap rahasia umum yang selama ini hanya dibicarakan setengah berbisik:
ada yang tidak beres dengan pengelolaan hutan, dan baunya kini menyengat sampai ke ruang tamu.

Topan Senyar hanya mempercepat apa yang selama ini disiapkan perlahan:
gunungan luka ekologis yang menunggu satu pemicu untuk runtuh.
Dan ketika runtuh, ia tidak memilih korban—semua digulung tanpa peduli siapa pelaku, siapa penonton, siapa yang sebenarnya menjaga bumi.

Di desa-desa yang terendam lumpur, warga mulai memahami ironi paling pahit: alam tidak pernah marah tanpa alasan. Hutan tidak mengirim batang-batang pohon sebesar truk hanya demi drama. Ini adalah bukti fisik, barang bukti raksasa yang tidak bisa dinafikan hanya dengan rapat, survei, atau kata-kata manis tentang “komitmen hijau.”

Senyar akan berlalu.
Yang tersisa adalah jejak kayu yang berserakan, seperti finger print kejahatan ekologis yang kita biarkan berlangsung bertahun-tahun.

Dan jika kita masih berpura-pura tak melihat, maka suatu hari nanti bukan lagi kayu balak yang turun dari bukit, melainkan kehampaan—karena hutannya sudah habis, tanahnya longsor seluruhnya, dan kita baru tersadar bahwa selama ini yang paling cepat rusak bukan alamnya, tetapi cara berpikir kita.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments