spot_img
BerandaHumanioraKaya Raya di Atas Kertas, Lapar di Dapur Rakyat

Kaya Raya di Atas Kertas, Lapar di Dapur Rakyat

Di sinilah satire menemukan panggungnya. Negeri penghasil minyak goreng terbesar, tetapi rakyatnya harus berebut minyak goreng. Sawit kita menyejahterakan dunia, tetapi dapur sendiri dibiarkan kering. Yang kenyang bukan petani kecil, bukan buruh kebun, apalagi konsumen, melainkan segelintir elite yang piawai memainkan angka, kuota, dan regulasi. Atas nama mekanisme pasar, atas nama globalisasi, atas nama stabilitas ekonomi—padahal sesungguhnya atas nama keserakahan yang dilegalkan.

Oleh Tilottama

Ucapan Nelson Mandela itu menjelma seperti pisau dingin yang menancap tepat di ulu hati bangsa-bangsa yang dikhianati oleh penguasa mereka sendiri: “Para penjahat tidak akan pernah membangun negara, mereka hanya memperkaya diri sambil merusak negara.” Kalimat itu tak perlu diterjemahkan, sebab ia bekerja langsung pada nurani—jika nurani itu masih ada.

Di negeri ini, pengabdian pada kekuasaan kerap disulap menjadi jubah kesalehan politik. Atas nama rakyat, atas nama stabilitas, atas nama pembangunan—segala kebijakan dilafalkan dengan retorika manis, namun digerakkan oleh tangan-tangan rakus yang lihai menyembunyikan kejahatan di balik meja rapat dan lembar regulasi. Mereka bukan abdi negara, melainkan pelayan nafsu; bukan penjaga amanat, melainkan penimbun harta untuk diri sendiri dan lingkaran sempit yang disebut “kelompok strategis”.

Pertanyaannya sederhana, nyaris naif: benarkah mereka yang bertarung mati-matian merebut jabatan itu berniat membangun negeri? Jika niat itu tulus, seharusnya kemakmuran tak lagi menjadi wacana, melainkan kenyataan. Seharusnya kesejahteraan rakyat tak lagi dijadikan janji kampanye lima tahunan, melainkan hak yang dirasakan setiap hari. Namun realitas berkata lain: jabatan telah menjadi ladang, kekuasaan menjadi komoditas, dan rakyat cukup diberi remah-remah optimisme agar tetap sabar menunggu.

Ironi itu kian telanjang ketika kita bercermin pada fakta: Indonesia adalah raja sawit dunia. Sekitar 58–60 persen pasokan minyak sawit global berasal dari tanah ini, mengungguli Malaysia dan negara-negara lain. Kebun terbentang sejauh mata memandang, pabrik berderet, ekspor mengalir deras, devisa dipuja dalam laporan-laporan resmi. Namun di dapur rakyat, minyak goreng justru sering berubah menjadi barang mewah. Harga melambung, antrean mengular, dan ibu-ibu dipaksa menghitung tetes demi tetes, seolah minyak adalah barang langka yang harus dihemat seperti emas cair.

Di sinilah satire menemukan panggungnya. Negeri penghasil minyak goreng terbesar, tetapi rakyatnya harus berebut minyak goreng. Sawit kita menyejahterakan dunia, tetapi dapur sendiri dibiarkan kering. Yang kenyang bukan petani kecil, bukan buruh kebun, apalagi konsumen, melainkan segelintir elite yang piawai memainkan angka, kuota, dan regulasi. Atas nama mekanisme pasar, atas nama globalisasi, atas nama stabilitas ekonomi—padahal sesungguhnya atas nama keserakahan yang dilegalkan.

Maka benarlah Mandela. Penjahat memang tak pernah membangun negara. Mereka hanya membangun istana di atas reruntuhan akal sehat, memperkaya diri di tengah kemiskinan struktural, dan menertawakan rakyat dari balik pidato-pidato yang penuh kata “kepentingan umum”. Negara ini tidak kekurangan sumber daya, tidak pula kekurangan orang pintar. Yang langka adalah kejujuran dan keberanian untuk mengatakan: kekuasaan telah lama dijadikan alat kejahatan terselubung, dan rakyatlah yang terus-menerus diminta membayar harganya.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments