LESINDO.COM – Kartasura bukan sekadar nama di peta. Ia menyimpan denyut panjang sejarah Jawa — dari hutan belantara bernama Wanakerta hingga menjadi pusat kebesaran Mataram di penghujung abad ke-17. Ketika Amangkurat II memindahkan tahtanya ke sini, Kartasura menjelma menjadi jantung politik dan kebudayaan. Namun kejayaan itu tak abadi. Pemberontakan, intrik istana, dan campur tangan VOC akhirnya mengguncang singgasananya. Pusat kekuasaan pun berpindah, meninggalkan Kartasura dalam bayang kejayaan masa silam.
Kini, tiga setengah abad kemudian, gema masa lalu itu masih bergaung. Di antara reruntuhan petilasan keraton, di balik nama-nama kampung yang masih menyimpan jejak istana, Kartasura berusaha merangkai ingatan. Ulang tahun ke-345 bukan sekadar pesta, tetapi sebentuk ikhtiar untuk meneguhkan jati diri—bahwa akar sejarah ini tak boleh tercerabut oleh derasnya arus modernitas.

Dari 1 hingga 12 Oktober 2025, perayaan digelar meriah, sempat diundur dari jadwal semula demi alasan keamanan publik. Alun-alun Kartasura menjadi pusat tumpah ruah warga. Malam pembukaan diwarnai pemotongan tumpeng dan pesta kembang api yang menghiasi langit dengan warna kebanggaan. Sementara itu, di siang hari, suasana khidmat menyelimuti ziarah ke makam leluhur Karaton Kartasura, dipimpin juru kunci dan tokoh adat setempat—sebuah penghormatan bagi mereka yang meletakkan dasar peradaban di tanah ini.
Sepanjang pekan, pagelaran seni budaya digelar bergantian: wayang kulit semalam suntuk, tari tradisional, musik gamelan, hingga hiburan rakyat dan panggung dangdut yang membuat warga larut dalam tawa dan kebersamaan. Di sela keramaian, UMKM lokal dan sponsor seperti Assalam Hypermarket ikut memeriahkan suasana lewat bazar dan pertunjukan malam.
Malam puncak menjadi klimaks kebersamaan. Ribuan warga memadati pelataran petilasan keraton. Sorot lampu menari bersama irama musik. Di tengah gegap gempita itu, putra almarhum Didi Kempot tampil membawakan lagu-lagu bertema rindu dan perjuangan, menggetarkan hati penonton.
Di antara kerumunan, seorang warga berkata pelan, “Ziarah bukan sekadar ritual. Ini tanggung jawab kita pada leluhur, agar sejarah Kartasura tak hilang dari ingatan.”
Namun di balik kemeriahan, terselip tantangan. Penundaan jadwal sempat membuat panitia berpacu dengan waktu. Koordinasi dengan Polres, pemerintah, dan TNI menjadi kunci agar acara berlangsung aman dan tertib. Di sisi lain, muncul harapan agar peringatan semacam ini tak berhenti pada pesta tahunan, melainkan menjadi pemantik bagi pelestarian budaya, perawatan situs sejarah, dan penguatan ekonomi lokal.
Kartasura kini menatap masa depan dengan langkah yang lebih matang. Di antara bayang sejarah dan denting musik malam, lahirlah harapan baru—bahwa tanah tua ini akan terus hidup, berdenyut, dan tumbuh sebagai ruang harmoni antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. (mac)