spot_img
BerandaJelajahKampung Gitar Mancasan: Denting Kreativitas dari Rumah ke Dunia

Kampung Gitar Mancasan: Denting Kreativitas dari Rumah ke Dunia

Tak hanya gitar, suasana kampung yang ramah, kuliner lokal, dan cerita sejarah membuat wisatawan betah berlama-lama. Mancasan kini bukan sekadar kampung industri, melainkan ruang budaya hidup.

LESINDO.COM – Dari balik rumah-rumah sederhana di Desa Mancasan, denting gitar terdengar seakan tak pernah berhenti. Suara itu bukan berasal dari panggung musik besar, melainkan dari bengkel-bengkel kecil milik warga yang sejak tahun 1975 menjadikan gitar sebagai sumber kehidupan. Inilah Kampung Gitar Mancasan, salah satu sentra produksi alat musik petik terbesar di Indonesia.

Tradisi membuat gitar di Mancasan dimulai pada pertengahan 1970-an. Saat itu, beberapa warga belajar membuat gitar secara otodidak lalu menularkannya ke tetangga. Dari satu rumah ke rumah lain, keahlian ini menyebar hingga akhirnya hampir 90% warga menggantungkan hidupnya dari gitar. “Saya belajar dari bapak, dan bapak saya dulu belajar dari tetangganya. Begitu seterusnya. Jadi ini sudah turun-temurun,” ujar Pak Joko (62), pengrajin senior.

Kayu mahoni, jati Belanda, hingga waru dipilih hati-hati sebelum dibentuk menjadi body gitar. Suara mesin pemotong berpadu dengan gesekan amplas dan aroma cat, menghadirkan atmosfer khas. “Kalau kayu bagus, suara gitar lebih nyaring dan awet,” jelas Siti Nurhayati (40), pengrajin perempuan yang menggeluti usaha ini sejak remaja.

Prosesnya panjang: mulai dari pemotongan kayu, pembentukan body, pemasangan leher gitar, pengecatan, pengeringan, hingga penempatan senar. Setiap detail dikerjakan dengan kesabaran, karena kualitas suara ditentukan oleh presisi.

Dari Mancasan ke Dunia

Di balik setiap senar yang dipetik, tersimpan cerita ketekunan, tradisi, dan harapan akan masa depan yang lebih gemilang. (mac)

Tak hanya dijual di pasar lokal, gitar Mancasan telah melanglang buana. Pesanan datang dari kota-kota besar Indonesia, bahkan hingga ke Malaysia, Singapura, Italia, dan Belanda. “Saya pernah mengirim gitar ke Eropa. Bangga sekali rasanya, hasil karya desa kecil bisa sampai ke luar negeri,” tutur Sugiyono (35), generasi muda pengrajin.

Meski begitu, pandemi sempat membuat bisnis gitar meredup. Permintaan menurun, stok menumpuk, dan beberapa pengrajin terpaksa berhenti sementara. Namun semangat tak padam. Kini, perlahan denting gitar kembali menggema, seiring pulihnya pasar musik.

Selain produksi, Mancasan berkembang menjadi desa wisata. Pengunjung bisa menyaksikan langsung proses pembuatan gitar, belajar memainkan gitar, bahkan memesan gitar sesuai selera. “Wisatawan biasanya senang mencoba mengamplas kayu atau memegang gitar baru jadi. Itu pengalaman berbeda,” kata Yusuf (28), pengrajin sekaligus pengelola wisata desa.

Tak hanya gitar, suasana kampung yang ramah, kuliner lokal, dan cerita sejarah membuat wisatawan betah berlama-lama. Mancasan kini bukan sekadar kampung industri, melainkan ruang budaya hidup.

Tantangan dan Harapan

Tantangan terbesar adalah pemasaran dan persaingan dengan produk pabrikan. Selain itu, branding gitar Mancasan belum sekuat merek global. “Kami berharap ada dukungan dari pemerintah untuk promosi digital. Kalau diberi ruang lebih luas, kami yakin gitar Mancasan bisa bersaing,” ujar Sutrisno (50), perajin lainnya.

Harapan besar juga datang dari generasi muda. Mereka kini mulai memanfaatkan media sosial dan e-commerce untuk menjual produk. Dengan sentuhan inovasi, gitar Mancasan diharapkan tak hanya bertahan, tapi berkembang sebagai ikon musik dari Jawa Tengah. (Cha)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments