LESINDO.COM- Kita sering lupa, menghakimi orang lain lebih banyak menceritakan tentang siapa kita, bukan tentang siapa mereka. Tentang cara kita melihat dunia, tentang luka yang belum sembuh, tentang ketakutan yang diam-diam kita sembunyikan. Mungkin kita terlalu cepat menilai, karena belum cukup sabar memahami. Mungkin kita memberi label, karena takut melihat cermin dari diri sendiri dalam orang lain. Padahal setiap manusia membawa kisahnya — pergulatan yang tak kita tahu, lelah yang tak mereka tunjukkan, dan alasan yang tak sempat mereka jelaskan.
Ketika Kita Terlalu Cepat Menghakimi
Menghakimi seringkali bukan cerminan dari siapa yang dihakimi, tetapi dari siapa yang menghakimi. Ketika seseorang tergesa memberi label, menilai buruk, atau menyimpulkan karakter orang lain hanya dari sepotong perilaku, yang sesungguhnya ia tunjukkan bukanlah kebenaran tentang orang itu, melainkan bias dan luka yang ia bawa dalam dirinya sendiri.
Seringkali, penilaian yang lahir dengan cepat berasal dari ketidaknyamanan yang tak terselesaikan di dalam diri. Ada rasa takut yang belum dihadapi, ada ego yang butuh merasa lebih tinggi, atau ada pengalaman masa lalu yang belum sembuh. Maka, menghakimi menjadi cara tidak sadar seseorang untuk melindungi dirinya dari apa yang ia anggap berbeda atau mengancam.
Namun, manusia terlalu kompleks untuk disimpulkan hanya dari satu tindakan, satu kesalahan, atau satu fase hidup. Setiap orang membawa cerita panjang — pergulatan, kelelahan, pencarian, dan luka yang tak selalu terlihat. Sering kali, di balik sikap yang tampak salah, ada alasan yang belum kita pahami; di balik keputusan yang tampak bodoh, ada ketakutan yang belum terucap.
Belajar menahan diri untuk tidak cepat menilai adalah bentuk kedewasaan batin. Itu artinya kita memberi ruang bagi empati, bagi kemungkinan bahwa apa yang tampak tidak selalu seperti yang kita kira. Mungkin kita tidak selalu bisa memahami sepenuhnya orang lain, tetapi kita bisa memilih untuk tidak menambah beban mereka dengan prasangka.
Pada akhirnya, cara kita menilai orang lain selalu menjadi cermin dari siapa diri kita. Semakin luas pemahaman kita terhadap diri sendiri, semakin bijak pula cara kita memandang manusia lain. Dan di situlah, mungkin, letak sejati dari kebijaksanaan — bukan pada kemampuan menilai, tetapi pada kesediaan memahami. (Cha)

