spot_img
BerandaBudayaJejak Sunyi Para Raja: Menyusuri Makam Imogiri, Warisan Abadi Mataram

Jejak Sunyi Para Raja: Menyusuri Makam Imogiri, Warisan Abadi Mataram

Bagi masyarakat Jawa, Imogiri bukan sekadar makam. Ia adalah simbol perjalanan spiritual manusia. Setiap tangga yang didaki mengajarkan kesabaran; setiap langkah yang diambil mengandung makna tentang kesadaran diri. Falsafah Jawa menyebutkan, urip iku mung mampir ngombe — hidup hanyalah persinggahan untuk menyiapkan keabadian. Maka, Imogiri menjadi pengingat bahwa kuasa, kejayaan, dan kebesaran duniawi pada akhirnya akan berlabuh dalam kesunyian yang sama.

LESINDO.COM-Kabut tipis masih menggantung di atas perbukitan Imogiri, Yogyakarta, ketika langkah kaki menapak di anak tangga batu yang seolah tak berujung. Udara pagi membawa aroma tanah basah dan dupa yang samar, menuntun perjalanan menuju kompleks makam raja-raja Mataram — tempat di mana sejarah, spiritualitas, dan kebesaran Jawa berpadu dalam kesunyian yang khidmat.

Gerbang hitam legam berdiri kokoh di hadapan, dengan ornamen putih di puncak dan sudut-sudutnya. Di atas pintu tertulis huruf “P.B.”, singkatan dari Pakubuwono, penanda wilayah peristirahatan raja-raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Arsitekturnya memancarkan keagungan klasik: perpaduan antara tradisi Hindu-Jawa dan nuansa Islam, seolah menjadi simbol sinkretisme yang telah lama mengakar dalam budaya Mataram.

Dari gerbang itu, jalan mendaki membawa pengunjung menembus lapisan-lapisan sejarah. Di puncak tertinggi, terdapat makam Sultan Agung Hanyakrakusuma, pendiri dan penguasa besar Kerajaan Mataram Islam. Dari sinilah garis keturunan raja-raja Jawa terbagi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Keduanya memiliki kompleks makam masing-masing di sisi berbeda bukit — namun tetap dalam satu kesatuan sakral bernama Imogiri.

Menaiki tangga 409 anak tangga batu menuju kompleks pemakaman di puncak bukit Imogiri beradadi sekitar 80-100 (mdpl). Di setiap anak tangga, udara terasa semakin sejuk, dan aroma dupa samar-samar terbawa angin. Langkah kaki perlahan mengantar pada suasana sakral — tempat peristirahatan para raja Mataram yang agung. (mac)

Setiap kompleks memiliki karakter tersendiri. Di sisi Surakarta, pusara para Susuhunan berderet dengan rapi, dari Pakubuwono I hingga generasi yang baru berpulang. Sementara di sisi Yogyakarta, berdiri kompleks para Sultan, dari Hamengkubuwono I hingga penerusnya. Masing-masing dijaga ketat, dengan aturan adat yang tak lekang oleh waktu. Siapa pun yang hendak berziarah wajib mengenakan busana adat Jawa — jarik, beskap, atau kemben — sebagai wujud penghormatan kepada para leluhur.

Bagi masyarakat Jawa, Imogiri bukan sekadar makam. Ia adalah simbol perjalanan spiritual manusia. Setiap tangga yang didaki mengajarkan kesabaran; setiap langkah yang diambil mengandung makna tentang kesadaran diri. Falsafah Jawa menyebutkan, urip iku mung mampir ngombe — hidup hanyalah persinggahan untuk menyiapkan keabadian. Maka, Imogiri menjadi pengingat bahwa kuasa, kejayaan, dan kebesaran duniawi pada akhirnya akan berlabuh dalam kesunyian yang sama.

Kini, di tengah derasnya arus modernitas, Imogiri tetap berdiri anggun. Pepohonan rindang menaungi setiap jalur ziarah, burung-burung berkicau di antara dinding batu, dan keheningan mengajarkan makna mendalam tentang kebesaran yang sejati — bukan pada tahta, melainkan pada ketenangan jiwa.

Imogiri bukan hanya tempat bersemayam para raja. Ia adalah ruang abadi yang menyimpan denyut sejarah, kebijaksanaan, dan kebanggaan Jawa. Di setiap hembusan angin yang lewat di antara gapura hitam itu, seolah terdengar bisikan halus para leluhur: agar anak cucu tak lupa, bahwa keagungan sejati bukan di atas singgasana, melainkan di dalam budi yang luhur. (Rul)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments