LESINDO.COM – Langkahku terhenti di depan dua arca hitam legam yang berdiri gagah, mata mereka merah menyala menatap lurus ke arahku. Udara pagi terasa lembab, dan desir angin membawa aroma tanah yang tua—seperti napas masa lalu yang tak pernah benar-benar padam. Di atas kepalaku, lengkung besi bertuliskan “Kasultanan Keraton Pajang” menyambut dengan khidmat, seolah berkata, selamat datang di tanah sejarah, di mana waktu tak lagi berlari.
Inilah Keraton Pajang, cagar budaya yang menyimpan jejak kerajaan besar yang pernah berdiri di wilayah perbatasan antara Pajang Solo dengan Desa Makamhaji Sukoharjo. Sekilas tampak sederhana, bahkan sunyi, namun di balik kesunyian itu terpendam kisah tentang lahirnya kekuasaan baru setelah Kerajaan Demak meredup. Dari Pajang inilah, perjalanan kekuasaan Islam di tanah Jawa berpindah arah — dari pesisir utara menuju pedalaman yang kelak dikenal sebagai Mataram.
Keraton Pajang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya, atau yang lebih dikenal dengan nama Jaka Tingkir. Sosok yang dulu hanyalah pemuda dari desa Tingkir, kemudian diangkat menjadi menantu Sultan Trenggono dari Demak. Setelah masa kejayaan Demak berakhir, Pajang tampil menggantikan — bukan hanya sebagai kekuasaan politik, tetapi sebagai simbol peralihan zaman: dari masa peperangan menuju masa penataan batin dan budaya Jawa yang lebih halus.

Kini, yang tersisa dari kejayaan itu hanyalah petilasan. Tidak ada tembok istana megah, tidak pula pendapa luas tempat raja menggelar pertemuan. Namun, setiap batu di sini seperti menyimpan gema langkah para prajurit, setiap pohon seakan menjadi saksi doa-doa yang dulu terucap dari bibir para bangsawan. Di sudut halaman, terlihat pendapa kecil tempat juru kunci menjaga warisan dengan penuh hormat, sementara angin yang berhembus di antara pepohonan terdengar seperti bisikan masa lalu.
Keraton Pajang memang tidak lagi tampak sebagai pusat kekuasaan, namun jiwanya masih hidup — dalam ingatan warga sekitar, dalam ritual yang kadang digelar sederhana, dan dalam kisah yang diwariskan dari mulut ke mulut. Bagi mereka, Pajang bukan sekadar peninggalan sejarah, melainkan cermin nilai luhur tentang kebijaksanaan dan kesederhanaan. Bahwa kejayaan sejati bukan pada istana yang tinggi, melainkan pada kemampuan manusia memahami makna kekuasaan dan ketulusan.
Pajang menjadi mata rantai yang hilang namun penting antara Demak dan Mataram. Dari sini, benih budaya agraris Jawa yang religius dan berfilsafat tumbuh, membentuk wajah peradaban baru. Sejarah mungkin tak lagi menulis namanya dengan tinta emas, tetapi jejak Pajang masih terpatri di tanah dan batin orang Jawa.
Sore mulai turun. Cahaya mentari menyelinap di sela dedaunan, memantul lembut di permukaan batu arca penjaga. Dalam hening itu, aku merasa seolah mendengar langkah-langkah para leluhur yang pulang.
Pajang bukan sekadar tempat. Ia adalah ingatan yang hidup, tentang bagaimana sebuah kerajaan bisa runtuh, namun maknanya justru menjadi abadi. (Din)

