spot_img
BerandaHumanioraJejak Rekoso, Jejak Cahaya: Tembang Ibu yang Ditulis dengan Lumpur, Cahaya, dan...

Jejak Rekoso, Jejak Cahaya: Tembang Ibu yang Ditulis dengan Lumpur, Cahaya, dan Kesunyian

Ketika senja hidupnya mendekat, perlahan dunia memulangkan apa yang dulu dirampas darinya. Ia bisa membeli barang-barang yang dulu hanya berani ia khayalkan. Ia bisa merayakan sedikit kenyamanan yang masa kecilnya tak pernah sediakan. Semua itu bukan kemewahan; itu hanyalah bunga kecil yang tumbuh dari rekoso panjang yang pernah ia tabur.

LESINDO.COM – Di sebuah desa yang terletak di antara desir angin dan bisik padi, tahun 1951 melahirkan seorang bayi perempuan—sehelai cahaya kecil yang jatuh ke pangkuan keluarga pemilik sawah luas dan kandang penuh suara napas ternak. Namun cahaya itu sejak awal sudah dipanggil oleh bayang-bayang tugas. Kanak-kanaknya bukan gelang-gelang tawa, melainkan desah jerami yang basah dan bau kandang yang mengasuhnya lebih dulu daripada pelukan masa kecil.

Ibu tumbuh seperti kuntum bunga padang yang dipaksa mekar oleh matahari sebelum waktunya. Sebagai anak sulung dari dua belas jiwa, ia harus memanggul tanggung jawab bahkan sebelum kata itu menemukan bentuknya. Setiap pagi, ketika embun masih menggigil di ujung rumput, ia melangkah masuk ke kandang—ruang yang menjadi sekolah pertamanya tentang hidup. Di sana, ia belajar bahwa dunia punya ritme yang keras dan tak mau ditawar.

Tangan kecilnya menggenggam cangkul kotoran, seolah menggenggam takdir yang belum bisa ia pahami. Jerami ia tata seperti orang menata harapan. Air ia timba seperti menimba sisa-sisa masa kanak-kanak yang tak sempat ia nikmati. Dan ketika sedikit saja langkahnya meleset, tangan Mbah Kakung turun bagai petir yang memberi garis—membelah pagi, menggoreskan disiplin yang kelak menjelma karakter.

Namun dari guratan-guratan itulah lahir seorang perempuan yang teguh. Ibu tumbuh seperti batu yang disiram hujan bertahun-tahun: terlihat tenang, tetapi di dalamnya ada kekuatan yang diam-diam mengeras. Dari dua belas saudara, dialah yang paling bening tekadnya, paling rapi laku hidupnya, paling terang jalannya.

Saat ia meninggalkan desa dan membangun keluarganya sendiri, rekoso tetap mengikuti—bukan sebagai beban, tetapi sebagai bayangan setia yang mengajari cara berdiri tegak. Delapan anak ia lahirkan, ia besarkan, ia tuntun. Ia tidak menulis doa di kertas, tetapi pada ubun-ubun anak-anaknya, lewat kerja tanpa jeda dan pengorbanan yang tak meminta lampu sorot.

Kisah-kisah masa kecilnya mengalir setiap malam seperti sungai yang tak pernah kering. Tentang berjalan satu kilometer menjemput air—sebuah perjalanan yang mengajari bahwa harapan tak selalu dekat. Tentang kaki belepotan lumpur—yang mendidiknya menerima hidup apa adanya. Tentang malam-malam yang ia habiskan memijati dirinya sendiri—yang membentuk pengertian bahwa kadang, kita adalah rumah untuk luka kita sendiri.

Dengan segala kesempitan hidup, ibu mengajarkan bahwa rekoso itu benih yang ditanam jauh sebelum musim panen tiba. Dari tanah kering itu, ia menumbuhkan keajaiban: menyekolahkan delapan anak sampai perguruan tinggi. Dalam diamnya, ia sedang menantang garis nasib, dan ia menang—tanpa teriak, tanpa sorak.

Ketika senja hidupnya mendekat, perlahan dunia memulangkan apa yang dulu dirampas darinya. Ia bisa membeli barang-barang yang dulu hanya berani ia khayalkan. Ia bisa merayakan sedikit kenyamanan yang masa kecilnya tak pernah sediakan. Semua itu bukan kemewahan; itu hanyalah bunga kecil yang tumbuh dari rekoso panjang yang pernah ia tabur.

Kini, setelah ia kembali menjadi cahaya dalam keheningan keabadian, yang tersisa bukan hanya kisah kerasnya didikan atau lelahnya langkah. Yang tinggal adalah jejak tak tampak—keteguhan yang diwariskan lewat laku, bukan kata. Disiplin yang diajarkan lewat contoh, bukan petuah. Cinta yang kadang tampak keras, tetapi sesungguhnya selembut sungai yang mengiris batu perlahan-lahan.

Jejak rekoso ibu berubah menjadi jejak cahaya.
Cahaya yang tidak menyilaukan, tetapi menuntun.
Cahaya yang tidak berteriak, tetapi memeluk.
Cahaya yang lahir dari perempuan yang hidupnya ditulis dengan lumpur, keringat, air mata, dan sebuah keyakinan yang tak pernah padam.

Dan cahaya itu sekarang menetap di hati anak-anaknya—sebagai tembang lirih yang tak akan pernah selesai dinyanyikan. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments