Laporan perjalanan dari ketinggian Dieng
Berangkat ke Negeri di Atas Awan
LESINDO.COM – Pagi buta adalah waktu terbaik untuk meninggalkan kota-kota di kaki pegunungan Dieng. Lampu-lampu jalan masih menggigil dalam dingin, sementara kendaraan perlahan menanjak melewati kelok-kelok bukit yang gelap. Bau tanah basah mulai terasa ketika ketinggian bertambah; seperti aroma purba yang menuntun para peziarah ke dataran yang konon menjadi “tempat bersemayam para dewa.”
Di setiap tikungan, suhu menurun drastis. Jendela mobil memutih oleh embun, seolah alam sedang melukis batas antara dunia yang ditinggalkan dan dunia yang akan disambut. Tidak ada yang terburu-buru; perjalanan ke Dieng memang selalu meminta satu hal: kesabaran. Seakan alam berkata, “Datanglah perlahan, agar engkau bisa melihat lebih jauh.”
Tiba di Pelataran Candi: Pagi yang Dari Tadi Enggan Terbangun
Saat tiba di area Candi Arjuna, matahari masih bersembunyi di balik kabut yang menggumpal. Udara menyapu tubuh dengan gigil yang menembus tulang. Nafas jadi asap tipis. Rasanya seperti memasuki ruang waktu yang beku.
Di pintu masuk, petugas menyerahkan selembar kain hitam bermotif putih—bunga-bunga dan gambar candi digoreskan ala lukisan tradisional. Kain itu harus dikenakan sebagai bentuk penghormatan. Kita mengikatnya di pinggang seperti mengenakan jarik. Sebuah ritus kecil, namun mampu mengubah suasana hati: dari sekadar pelancong menjadi tamu yang datang dengan tata krama.
Tidak ada tarif pasti. Ketika kembali nanti, kita hanya diminta menyisihkan uang seikhlasnya. Cara kecil di mana budaya Jawa menanamkan pelajaran: hormat tidak selalu butuh harga.
Kompleks Candi Arjuna: Sejarah yang Menembus Kabut

Langkah pertama memasuki kompleks langsung disambut pemandangan lima bangunan candi yang berdiri seperti bayangan masa silam. Kompleks ini diyakini dibangun antara abad ke-8 hingga awal abad ke-9 M, pada masa Wangsa Sanjaya, bagian dari Kerajaan Mataram Kuno.
Prasasti berangka tahun 809 M—Prasasti Dieng—menjadi bukti bahwa kawasan ini telah menjadi pusat pemujaan Hindu Siwa sejak awal abad ke-9.
Candi-candi itu kecil, namun tiap sisinya memuat ukiran yang menahan napas. Batu andesit yang menghitam memelihara lumut tipis, seperti garis-garis usia di wajah seseorang yang tidak pernah berhenti menjaga cerita.
Di pagi berkabut, bangunan itu tidak terlihat sepenuhnya. Kadang muncul, kadang lenyap. Seakan ada tirai tak kasatmata yang membuka dan menutup pelan—menggoda rasa ingin tahu siapa pun yang datang.
Wisatawan berdatangan, sebagian besar hanya ingin memastikan satu hal: mereka pernah sampai di sini. Kamera diangkat, difoto, lalu tergesa pindah ke spot berikutnya. Namun bagi yang bersedia berhenti sejenak, keheningan di antara kabut dan batu tua itu terasa seperti bisikan dari abad yang lain.
Dataran Tinggi Dieng: Negeri Para Dewa dalam Nafas Nyata
Nama “Dieng” sering dihubungkan dengan kata “Di Hyang”—tempat para dewa. Di ketinggian 2.093 mdpl, justru udara yang tipis membuat setiap tarikan napas terasa lebih berat namun lebih bermakna. Langit rendah, rumput basah, bayangan telaga yang jauh di kejauhan, dan aroma belerang samar dari Kawah Sikidang menegaskan bahwa kita tengah berada di tanah yang masih setia pada unsur-unsur purba.
Tidak heran sejak ribuan tahun lalu, para brahmana menempati dataran ini untuk ritual.
Ritual Ruwatan: Ketika Tradisi Menyentuh Tanah dan Langit

Kompleks Candi Arjuna bukan hanya peninggalan arkeologi. Ia adalah panggung hidup dari satu tradisi penting: Ruwatan Anak Gimbal, yang menjadi pusat dalam acara Dieng Culture Festival.
Anak-anak berambut gimbal dianggap membawa “titipan” dari penguasa spiritual Dieng. Rambut itu tak boleh dipotong sembarangan; harus melalui upacara khusus dengan syarat yang mereka ucapkan sendiri. Ada yang meminta kambing, ada yang meminta sepeda, ada yang sesederhana permen atau bakso.
Ketika rambut dipotong, suasana menjadi hening. Rasanya seperti melihat pertemuan antara tanah, langit, dan manusia. Sebuah tradisi yang tidak hanya dirayakan, tapi dijaga dengan penuh hormat oleh masyarakat.
Matahari Akhirnya Bangun: Waktu yang Memoles Batu
Menjelang pukul sembilan, kabut perlahan pecah. Sinar matahari menyusup melalui celah awan, menerangi batu-batu candi hingga berkilau keemasan. Suasana berubah dari murung menjadi hangat.
Pengunjung yang datang belakangan mungkin mengira cuaca sedang bersahabat. Mereka tidak tahu bahwa satu jam sebelumnya, candi-candi itu nyaris tak terlihat. Itulah keunikan pagi di Dieng: setiap menit bisa berubah dari putih pekat menjadi biru cerah.
Batu-batu tua itu pun seolah menghela napas panjang, menerima cahaya yang telah ditunggu sejak subuh.
Menutup Perjalanan: Mengembalikan Kain, Membawa Cerita
Menjelang siang, langkah kembali mengarah ke pintu keluar. Kain hitam bermotif putih dilepas dan diserahkan. Kita memasukkan beberapa lembar uang ke kotak kecil. Petugas tersenyum, mengucap terima kasih tanpa basa-basi.
Di titik ini, perjalanan terasa lengkap. Bukan hanya karena tubuh telah sampai dan mata telah melihat, tetapi karena kita ikut menjalani satu siklus kecil: datang, menghormati, belajar, dan lalu pergi dengan hati yang lebih penuh.
Dari segala kesunyian dan dingin yang menyergap, dari kabut yang menutup dan membuka, dari batu tua yang memelihara masa silam—Candi Arjuna mengajarkan satu hal sederhana:
Perjalanan terbaik bukan yang paling jauh, tetapi yang meninggalkan ruang untuk diam. (mac)

