spot_img
BerandaBudayaJejak Luka Ekologi dari Cilacap ke Aceh

Jejak Luka Ekologi dari Cilacap ke Aceh

Begitu bencana datang, skenarionya selalu sama. Para korban menangis, para pejabat cuci tangan, dan para “ahli” saling lempar teori sambil duduk nyaman di studio. Yang paling rajin bekerja justru mikrofon TV, memproduksi debat tanpa solusi, saling serang tanpa empati—karena membela kelompok ternyata lebih penting daripada membela nyawa manusia.

LESINDO.COM – Cilacap, Banjarnegara, Tapanuli, Aceh—daftar yang terdengar seperti rute perjalanan panjang. Bedanya, ini bukan wisata, tetapi jejak luka ekologi yang ditorehkan atas nama pembangunan “maju” yang ternyata hanya kuat di baliho, rapuh di bumi.

Selama tidak ada bencana, semua tampak baik-baik saja. Pembangunan berjalan, pita dipotong, wajah-wajah sumringah tampil di televisi. Tapi ketika tanah mulai bergerak, sungai meluap, dan rumah-rumah hanyut, barulah kita sadar: yang dibangun itu bukan kemajuan, melainkan keropos yang dibungkus cat baru.

Begitu bencana datang, skenarionya selalu sama.
Para korban menangis, para pejabat cuci tangan, dan para “ahli” saling lempar teori sambil duduk nyaman di studio. Yang paling rajin bekerja justru mikrofon TV, memproduksi debat tanpa solusi, saling serang tanpa empati—karena membela kelompok ternyata lebih penting daripada membela nyawa manusia.

Sementara itu, di Aceh hari ini, banjir meluas di 16 kabupaten/kota.
Angka-angka berteriak, tapi entah kenapa telinga kebijakan tetap tuli:

  • 119.988 jiwa terdampak
  • 20.759 jiwa mengungsi
  • 33.817 keluarga kehilangan rumah dan harta benda

Ribuan orang kini hidup dengan pakaian basah, anak-anak kedinginan, ibu-ibu menggendong bayi tanpa selimut, lansia rebah di tenda yang lebih pantas disebut sepotong plastik yang kebetulan berdiri.
Jalan putus, jembatan ambruk, dan ada warga yang harus berjalan 3 hari 2 malam hanya untuk meminta bantuan logistik.

Tetapi di layar kaca, perdebatan tetap meriah—tentang siapa yang salah, siapa yang benar, siapa yang paling pantas tampil di thumbnail berita. Kemanusiaan? Ekologi? Ah, itu bahasan yang tidak mendatangkan rating.

Dan ketika ribuan saudara kita terjebak di tengah lumpur dan hujan, tokoh-tokoh panggung itu kembali memainkan naskah lama: berpidato, berjanji, berfoto.
Tindakan nyata? Nanti dulu. Kan sudah ada tagline: “Kami terus memantau.”

Satir paling pahit dalam tragedi ini adalah:
Orang baik tak perlu panggung, justru yang berada di panggung sering kali tak pernah benar-benar turun ke tempat bencana.

Aceh bukan sedang dilanda banjir—Aceh sedang dilanda kelalaian yang dibungkus kebiasaan. Dan selama kita menganggap bencana sebagai musim tahunan, bukan akibat tata kelola ekologi yang gagal total, maka daftar Cilacap–Banjarnegara–Tapanuli–Aceh akan terus bertambah panjang.

Panjang seperti sabar rakyat.
Pendek seperti ingatan kita. (Fai)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments