spot_img
BerandaHumanioraJejak Ki Ageng Pandaranan di Sekolah Alam Kali Gede

Jejak Ki Ageng Pandaranan di Sekolah Alam Kali Gede

Alam, dalam kegiatan ini, bukan sekadar latar. Ia menjadi ruang belajar yang tak bisa dimanipulasi. Air tidak bisa disuruh tenang. Tanah tidak bisa diminta menunggu. Kesalahan kecil bisa berujung risiko nyata. Di titik itulah, disiplin dan tanggung jawab menemukan maknanya.

Sekolah Alam Kali Gede di Lereng Boyolali

LESINDO.COM – Pagi di Kebun Raya Indrokilo, Boyolali, tidak dimulai dengan bel sekolah atau derap sepatu di koridor kelas. Ia dibuka oleh embun yang belum sepenuhnya jatuh dari daun, oleh aroma tanah basah, dan oleh deretan tenda yang berdiri rapi di antara pepohonan. Di tempat inilah, selama tiga hari dua malam, ratusan pelajar belajar sesuatu yang jarang diajarkan di ruang kelas: memimpin diri sendiri di hadapan alam.

Sekolah Alam yang digagas Komunitas Kali Gede mengambil inspirasi dari Ki Ageng Pandaranan—tokoh spiritual dan pemimpin yang menempuh jalan sunyi, meninggalkan kenyamanan untuk menemukan makna. Filosofi itu diterjemahkan ke dalam satu gagasan sederhana: kepemimpinan tidak tumbuh dari perintah, tetapi dari kedekatan dengan kehidupan.

“Sekolah alam ini hanya ingin berbagi,” kata Agung Nugroho, operator kegiatan yang akrab disapa Bilung. “Berbagi pengalaman agar anak-anak bisa belajar memimpin dengan alam, bukan melawannya.”

Sebanyak 150 peserta dari SMK Negeri 1 Boyolali, SMK Negeri 1 Mojosongo, dan SMAN 3 Boyolali mengikuti kegiatan ini. Mereka datang bukan sebagai individu lepas, melainkan sebagai representasi sekolah: anggota MPK, OSIS, dan Sispala. Sebagian besar adalah siswa kelas 10 dan 11—usia ketika keberanian sering beriringan dengan rasa ingin tahu, tetapi belum selalu dibarengi kesiapsiagaan.

Aktivitas Minggu pagi kemudian ditutup di aliran sungai Indrokilo. Di sana, gemericik air menjadi salam perpisahan yang sederhana, menegaskan bahwa sekolah alam ini berpulang pada muaranya: belajar dari alam, bersama alam. (mc)

Di alam terbuka, kesiapsiagaan menjadi kata kunci. Para peserta belajar Medical First Response (MFR): bagaimana menolong kawan yang terjatuh, pingsan, atau terluka saat beraktivitas di luar ruang. Mereka juga mengikuti pelatihan water rescue dengan memanfaatkan embung di kawasan kebun raya, serta vertical rescue yang mengajarkan kehati-hatian di medan terjal.

Alam, dalam kegiatan ini, bukan sekadar latar. Ia menjadi ruang belajar yang tak bisa dimanipulasi. Air tidak bisa disuruh tenang. Tanah tidak bisa diminta menunggu. Kesalahan kecil bisa berujung risiko nyata. Di titik itulah, disiplin dan tanggung jawab menemukan maknanya.

Tak hanya fisik yang diasah. Materi public speaking dan manajemen logistik turut diberikan, mempertemukan ketangguhan mental dengan kemampuan berkomunikasi. Kepemimpinan, di sini, tidak dimaknai sebagai suara paling keras, tetapi sebagai kemampuan menjaga kelompok tetap aman dan bergerak bersama.

Malam hari, tenda-tenda menjadi ruang refleksi. Ada tenda besar berwarna oranye milik BNPB yang difungsikan sebagai markas komunitas Kali Gede. Di sekitarnya, obrolan mengalir pelan—tentang lelah, tentang takut, dan tentang kesadaran baru bahwa alam bukan tempat pamer keberanian, melainkan ruang belajar kerendahan hati.

Bilung menyadari, tiga hari bukan waktu yang cukup untuk mengubah karakter generasi yang tumbuh bersama gawai. “Anak-anak sekarang terlalu lama hidup di layar,” ujarnya. “Kemampuan sosial dan kepedulian lingkungan pelan-pelan menipis.”

Namun sekolah alam ini tak memasang target muluk. Ia tidak berpretensi membentuk manusia baru dalam semalam. Yang ingin ditanamkan hanyalah pengalaman—bekal kecil yang mungkin suatu hari tumbuh menjadi kesadaran.

Sekolah Alam Kali Gede digelar pada 12–14 Desember 2025, di sela jeda semester. Waktu sengaja dipilih agar tak mengganggu kalender akademik dan ruang libur keluarga. Ia dimaksudkan sebagai kegiatan tambahan—ekstra yang memberi makna, bukan beban.

Di akhir kegiatan, ketika tenda mulai dilipat dan jejak kaki perlahan menghilang dari tanah Indrokilo, yang tersisa bukan hanya kenangan berkemah. Ada pelajaran diam-diam yang tertinggal: bahwa memimpin berarti siap dipimpin oleh keadaan, bahwa menjaga alam adalah cara paling jujur untuk menjaga masa depan.

Dan barangkali, dari tanah yang diinjak dan air yang disentuh itulah, benih kepemimpinan mulai tumbuh—pelan, tetapi berakar. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments