LESINDO.COM – Pagi di Bangli sering dimulai dengan kabut yang turun perlahan dari lereng Gunung Batur. Di sela udara yang dingin itu, suara gamelan dari pura-pura kecil masih terdengar lirih—seolah memanggil nama seorang anak bangsawan yang memilih jalan berbeda dari garis darahnya: Anak Agung Gede Anom Mudita.
Ia bukan sekadar anak puri. Ia adalah prajurit yang meninggalkan kenyamanan istana untuk menjemput takdir di hutan dan lembah, ketika Indonesia baru saja memproklamasikan kemerdekaannya. Di tahun-tahun penuh gejolak itu, nama Kapten Mudita menjadi gema di Bali Timur—dari Bangli, Gianyar, hingga Karangasem.
“Beliau bukan hanya pejuang bersenjata, tapi juga pemimpin yang menolak tunduk,” ujar seorang sesepuh di Penglipuran saat upacara peringatan gugurnya, setiap tanggal 20 November. “Kapten Mudita itu seperti api kecil yang tak padam di tengah kabut zaman.”
Darah Biru, Jiwa Merah Putih
Lahir dari Puri Kilian, Kapten Mudita tumbuh dalam lingkungan adat dan kebangsawanan Bali. Namun darah biru tidak membuatnya jauh dari rakyat. Saat agresi militer Belanda dan NICA mencoba menancapkan kembali kuku penjajahan, Mudita memilih turun ke medan juang.
Ia memimpin pasukan gerilya yang beroperasi di wilayah-wilayah terpencil Bali Timur. Hutan, sawah, dan sungai menjadi saksi keteguhan para pejuang yang berjuang dengan senjata seadanya. Dari balik kabut pagi, mereka menebar pesan bahwa Bali bukan pulau yang diam.
Perjuangan itu berhenti di sebuah pertempuran di Desa Penglipuran, 20 November 1947. Kapten Mudita gugur sebagai pahlawan muda. Namun sejak saat itu, kisahnya hidup sebagai legenda lokal—diceritakan dari mulut ke mulut, di pura, di sekolah, di tengah masyarakat.
Menunggu Pengakuan dari Ibu Pertiwi
Lebih dari tujuh dekade berlalu, nama Kapten Mudita tetap disebut dengan hormat. Pemerintah Kabupaten Bangli sudah lama mengajukan agar ia mendapat gelar Pahlawan Nasional. Semua dokumen dan kesaksian sejarah dikumpulkan, upacara penghormatan digelar setiap tahun.
Namun hingga November 2025, pengakuan itu belum tiba. Ia masih “pahlawan dari rakyat”, belum “pahlawan oleh negara”.Bagi masyarakat Bangli, hal itu tak mengurangi arti perjuangannya. Tapi bagi sejarah bangsa, penantian ini seolah menjadi pengingat bahwa banyak pejuang daerah masih menunggu di pintu pengakuan nasional.
“Pahlawan tak selalu mereka yang diukir di prasasti,” kata seorang guru sejarah di Bangli. “Kadang mereka hanya hidup di hati orang-orang kecil yang tak pernah lupa.”
Warisan di Tengah Kabut
Kini, di desa Penglipuran yang terkenal karena keindahannya, nama Kapten Mudita diabadikan dalam upacara tahunan dan monumen kecil. Setiap generasi baru diingatkan bahwa kemerdekaan tidak datang dari ruang perundingan semata, tetapi juga dari darah yang menetes di tanah Bali.
Kapten Mudita telah lama tiada, tetapi nilai yang ia tanamkan—tentang keberanian, kesetiaan, dan kesadaran akan tanah air—terus tumbuh di antara kabut pagi Bangli. (dhe)
Karena bagi orang-orang di tanah ini, perjuangan bukan sekadar pertempuran, tapi laku hidup. Dan Kapten Mudita telah menunaikan lakunya dengan sempurna. (dhe)

