LESINDO.COM – Di ruang koleksi Museum Radya Pustaka Surakarta, di antara deretan naskah kuno dan artefak pusaka, berdiri sebuah benda logam hitam yang tampak sederhana. Namun di balik tuts-tutsnya yang berdebu, tersimpan sejarah panjang tentang aksara, budaya, dan teknologi: sebuah mesin ketik beraksara Jawa. Mesin itu menjadi saksi bagaimana aksara tradisional pernah beradaptasi dengan modernitas pada masa awal abad ke-20.
“Benda ini dulunya digunakan di lingkungan Keraton untuk mengetik surat resmi beraksara Jawa,” tutur Mbak Yanti petugas museum sambil mengelus bagian tuts yang sudah mulai pudar. “Sekarang sudah tidak ada yang bisa memakainya, tapi nilainya luar biasa karena menjadi bukti bahwa aksara Jawa pernah hidup di dunia perkantoran.”
Warisan Logam dari Abad ke-20
Mesin ketik ini konon dibuat oleh pabrikan Royal Barlock di Inggris sekitar tahun 1910-an. Mesin serupa juga pernah digunakan di lingkungan Keraton Surakarta untuk mengetik surat-surat resmi, titah raja, dan pengumuman dalam aksara Jawa. Berbeda dari mesin ketik Latin biasa, tuts pada mesin ini diukir dengan huruf-huruf Jawa lengkap dengan sandhangan dan pasangan. Setiap tekanan menghasilkan karakter unik yang melengkung dan lembut—ciri khas aksara yang lahir dari budaya halus tanah Jawa.
Pada masa itu, penemuan mesin ketik beraksara Jawa menjadi simbol kemajuan. Ia menandai pertemuan antara teknologi barat dan tradisi lokal, antara logam dan sastra. Keraton, yang biasanya identik dengan tulisan tangan di atas daluang atau kertas Eropa, mulai mengenal efisiensi modern.

Menurut catatan museum, mesin ketik beraksara Jawa pernah digunakan untuk mengetik dokumen-dokumen resmi seperti “kekancingan dalem”—surat keputusan dari pihak raja—hingga laporan administratif. Setelah masa kolonial berakhir dan sistem administrasi berubah ke huruf Latin, mesin ini tak lagi digunakan.
Sebagian besar mesin serupa kemudian disimpan, rusak, atau hilang. Beruntung, salah satunya kini menjadi koleksi tetap Museum Radya Pustaka, museum tertua di Indonesia yang didirikan tahun 1890 oleh Kanjeng Adipati Sosrodiningrat IV. Mesin ketik itu kini ditempatkan di ruang koleksi budaya dan filologi. Di sana, pengunjung bisa menyaksikan langsung bagaimana aksara Jawa diadaptasi ke tuts logam—sebuah inovasi luar biasa di zamannya. (Fai)