spot_img
BerandaBudaya“JAWA” Bukan Sekadar Suku, Tapi Cahaya Kesadaran

“JAWA” Bukan Sekadar Suku, Tapi Cahaya Kesadaran

“Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.” Kekuatan sejati bukan pada amarah, melainkan pada kasih yang meredakan.

Oleh : Dhen Ba Gus e Ngarso

Wes Jawa uripe.
Ungkapan lama yang sering kita dengar, tapi jarang kita resapi maknanya. Banyak orang mengira itu sekadar menyatakan seseorang bersuku Jawa. Padahal, dalam warisan rasa para leluhur, kata “Jawa” tidak berhenti pada identitas lahir. Ia adalah mutu batin, taraf kesadaran, kematangan jiwa.

Sejak dahulu, para pinisepuh lebih menghargai laku daripada label. Yang dilihat bukan suku apa, tetapi bagaimana seseorang memegang budi. Dalam banyak serat dan pitutur, manusia dinilai dari kejernihan rasa—bukan rupa, bukan keturunan.

Makna Kuno: “Ja” dan “Wa”

Dalam kosmologi lama, Jawa diurai menjadi dua unsur:

  • Ja → cahaya, pencerahan, kesadaran yang bangun.
  • Wa → ruang, wadah, jagat tempat hidup berlangsung.

Maka “JAWA” dapat dimaknai sebagai:
cahaya yang menyadari ruangnya,
manusia yang terang pikirannya dan teduh lakunya.

Nilai itu selaras dengan pepatah Kawi:
“Siro iku sira, aku iku aku; yen sira dadi aku, sapa aku?”
– ajaran tentang kesadaran diri, tahu batas, tahu tempat.

Ngajawani: Laku Batin yang Tenang dan Matang

Menjadi “Jawa” berarti mampu ngajawani—menata laku dengan kelapangan jiwa. Para leluhur merumuskannya dalam pitutur yang masih relevan hingga hari ini:

“Alon-alon waton kelakon.”
Bukan berarti lamban, tetapi hati-hati, jernih, dan tidak tergesa oleh hawa nafsu.

“Empan papan.”
Tahu tempat, tahu waktu, tahu cara menaruh diri dengan bijak.

“Ajining diri saka lathi, ajining rogo saka busono.”
Harga diri manusia tampak dari tutur kata dan laku kesehariannya.

Orang yang mencapai taraf ini akan tampak tenang,
rikat tapi tertib,
tegas tapi tidak kasar,
halus tapi tidak lemah,
waspada tanpa curiga berlebihan.

Di mata para leluhur, itulah tanda-tanda manusia yang “Jawa uripe”—manusia yang berumur rasa, bukan sekadar berumur badan.

Warisan Rasa yang Kita Lupa

Dalam dunia yang semakin gaduh oleh perbedaan, pepatah klasik kembali mengingatkan:

“Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti.”
Kekuatan sejati bukan pada amarah, melainkan pada kasih yang meredakan.

Di sinilah inti ajaran itu:
Menjadi ‘Jawa’ berarti menjadi cahaya—yang menerangi dirinya, lalu lingkungan di sekitarnya.
Bukan soal darah, bukan soal suku, tapi pilihan untuk hidup dengan kesadaran yang halus dan hati yang welas asih.

Kini kita mungkin sibuk berbicara tentang identitas, tentang asal-usul, tentang apa yang membedakan manusia satu dengan lainnya. Namun para pinisepuh sudah jauh melampaui itu. Mereka mengajarkan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh tempat lahirnya, melainkan oleh jernihnya batin dan matang budi pekerti.

Maka, ketika seseorang disebut “wes Jawa uripe,” itu bukan pujian tentang sukunya, tetapi pengakuan bahwa ia telah mencapai kualitas batin yang luhur—yang mencerminkan cahaya, ruang, dan harmoni.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments