spot_img
BerandaBudayaJatisemi: Cita Rasa Ayam Ingkung di Tengah Teduhnya Pedesaan Gunungkidul

Jatisemi: Cita Rasa Ayam Ingkung di Tengah Teduhnya Pedesaan Gunungkidul

Nama Jatisemi sendiri mengandung makna filosofi. “Jati” berarti sejati, sedangkan “Semi” berarti tumbuh atau berkembang. Harapannya, dari tempat yang sederhana ini dapat tumbuh nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan yang sejati, sebagaimana rasa yang lahir dari sepiring ingkung buatan tangan sendiri.

LESINDO.COM – Di antara perbukitan batu kapur dan jalan berliku khas selatan Yogyakarta, tersembunyi sebuah tempat yang menenangkan hati dan menggugah selera: Jatisemi. Sebuah warung sederhana bernuansa pedesaan Jawa yang menawarkan lebih dari sekadar makanan — di sini, pengunjung disuguhi suasana, kebersamaan, dan kenangan akan kehangatan masa lalu.

Begitu melangkah masuk ke area Jatisemi, nuansa alami langsung terasa. Gazebo bambu beratap rumbia berdiri teduh di bawah pepohonan rindang. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu yang memungkinkan angin berhembus lembut, menciptakan rasa ayem — tenang dan damai. Tak heran jika di papan depannya terpampang tulisan besar “Ayem”, seolah menjadi mantra yang menyambut setiap tamu untuk sejenak melepaskan lelah.

Ingkung, Filosofi di Balik Rasa

Hidangan ayam ingkung merupakan masakan khas Jawa yang biasanya disajikan utuh, dimasak dengan bumbu rempah khas, dan memiliki cita rasa gurih serta aroma yang kuat. (mac)

Menu utama di Jatisemi adalah Ayam Ingkung Jawa, sajian tradisional yang sarat makna. Dalam budaya Jawa, ingkung sering dihadirkan pada acara selamatan, kenduri, atau syukuran sebagai simbol rasa syukur dan permohonan doa agar hidup tentram.

Ayam kampung dimasak utuh dengan bumbu rempah-rempah pilihan — lengkuas, daun salam, serai, kemiri, dan santan — menghasilkan cita rasa gurih yang meresap hingga ke tulang. Saat dihidangkan, aroma rempah yang menguar seolah membangkitkan selera sekaligus menghadirkan kehangatan di setiap suapan.

Penyajiannya pun tetap setia pada tradisi. Pengunjung duduk lesehan di pendopo bambu, saling berbagi potongan ayam, sambil menyeruput teh panas dalam cangkir tanah liat. Percakapan ringan mengalir, dan tawa-tawa kecil terdengar di sela embusan angin sore. Makan di sini bukan sekadar urusan perut, tapi juga perihal suasana dan rasa kebersamaan.

Filosofi dari Sang Pengelola

Di balik suasana teduh Jatisemi, ada sosok yang menghidupkan tempat ini dengan kesederhanaan dan ketulusannya. Ia adalah Pak Jati, seorang warga asli Gunungkidul yang sejak lama mencintai kearifan lokal Jawa.

Menurutnya, ide mendirikan Jatisemi bermula dari keinginan sederhana: menghadirkan tempat makan yang bukan hanya menjual kuliner, tetapi juga nilai kehidupan.

“Orang Jawa punya cara sendiri untuk menikmati hidup,” ujarnya sambil tersenyum. “Lewat makanan, kita bisa berbagi, bersyukur, dan mengingat asal-usul kita.”

Nama Jatisemi sendiri mengandung makna filosofi. “Jati” berarti sejati, sedangkan “Semi” berarti tumbuh atau berkembang. Harapannya, dari tempat yang sederhana ini dapat tumbuh nilai-nilai kebaikan dan kebersamaan yang sejati, sebagaimana rasa yang lahir dari sepiring ingkung buatan tangan sendiri.

Lebih dari Sekadar Kuliner

Kini, Jatisemi tak hanya menjadi tempat makan, tapi juga ruang pertemuan dan persahabatan. Banyak tamu datang bukan sekadar karena rasa ingkungnya yang khas, melainkan karena suasana hangat yang jarang ditemukan di tengah hiruk-pikuk kota.

“Yang paling berharga di sini bukan lauknya, tapi tawa dan cerita yang lahir di atas tikar bambu,” tutur salah satu pengunjung yang kerap kembali bersama keluarganya.

Suasana damai, keramahan tuan rumah, dan cita rasa tradisional menjadikan Jatisemi sebuah tempat yang layak dikunjungi. Sebuah ruang kecil di pedesaan Gunungkidul yang mengingatkan kita: kelezatan sejati bukan hanya soal rasa, tapi juga tentang hati yang tulus dalam menyajikan. (Dren)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments