spot_img
BerandaHumanioraJanji di Ujung Laut, Damai di Tanah Tepi

Janji di Ujung Laut, Damai di Tanah Tepi

“Sepatu dilepas!” suaranya lantang, tegas, dan berkarakter. Tanpa sadar, refleksku menjawab, “Siap!” —sebuah refleks yang terbentuk dari kebiasaan bergaul dengan para taruna dan pelaut.

LESINDO.COM – Matahari mulai condong ke barat. Sinar teriknya masih terasa hangat di kulit, memantul di atas pasir putih Tanjung Benoa. Langit biru membentang bersih tanpa noda, seolah turut menyambut para pemburu cahaya dan penikmat permainan air. Hari itu, cuaca begitu bersahabat—sempurna untuk hunting foto.

Namun di tengah riuh wisata dan kilau laut, panggilan alam tak dapat dihindari. Aku pun mencari kamar kecil, yang ternyata letaknya agak jauh—menyusuri lorong sunyi di sisi bangunan transit para pelancong. Dari kejauhan tampak sebuah bangunan sederhana, berdinding bata merah kusam dengan daun pintu kayu yang sudah lapuk dimakan waktu. Lantainya bukan keramik, hanya semen plesteran kasar. Tak ada yang istimewa—setidaknya pada pandangan pertama.

Tapi penjaga kamar mandi itu… entah mengapa, mataku langsung menangkap sesuatu yang berbeda. Badannya tegap meski usia senja tampak jelas di wajahnya. Tatapannya tajam, nadanya berwibawa, dan ada keteduhan yang sulit dijelaskan. Ia bukan sosok penjaga kamar mandi yang biasa kutemui di perjalanan. Ada aura disiplin, seolah bayangan masa lalu yang masih melekat kuat.

Penjaga nampak sederhanya, tapi ceritanya luar biasa dan menginspirasi tentang sebuah janji.(mac)

“Sepatu dilepas!” suaranya lantang, tegas, dan berkarakter.
Tanpa sadar, refleksku menjawab, “Siap!” —sebuah refleks yang terbentuk dari kebiasaan bergaul dengan para taruna dan pelaut.

Selesai urusan, aku duduk di sebelahnya, menyalakan sebatang rokok. Awalnya ia tampak enggan berbicara, hanya menjawab seperlunya. Tapi perlahan, di sela kepulan asap dan waktu yang mengendur, kisah hidupnya mengalir.

Ia bercerita bahwa dirinya berasal dari Pulau Lombok. Dahulu ia adalah seorang nakhoda kapal niaga berbendera luar negeri. Sukses, berpenghasilan besar, dan memiliki banyak properti. Namun semua itu, katanya, tak pernah mampu mengisi ruang kosong di hatinya.

“Aku dulu bernazar,” ujarnya lirih tapi mantap, “jika Allah memberiku anak laki-laki, aku akan berhenti berlayar.”
Dan janji itu ia tepati. Saat putra kecilnya lahir, ia membakar semua dokumen dan sertifikat pelayarannya—simbol dari hidup lamanya yang telah selesai.

“Sekarang aku di sini bukan untuk mencari uang,” lanjutnya pelan, menatap laut di kejauhan. “Aku hanya ingin tetap bergerak, tetap berguna. Hidup ini bukan soal kemewahan, tapi tentang menepati janji dan menyambut senja dengan tenang. Aku tak ingin menua dengan diam, menunggu waktu menjemput tanpa makna.”

Kata-katanya menancap dalam.
Di tengah hiruk-pikuk Tanjung Benoa, aku belajar satu hal dari penjaga kamar mandi itu: bahwa kebahagiaan sejati bukanlah tentang apa yang kita miliki, tapi tentang bagaimana kita menepati janji kepada diri dan Sang Pencipta. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments