spot_img
BerandaBudayaJalan Pintas Menuju Kebenaran? Tidak Ada. Yang Ada Hanya Salah Jalan

Jalan Pintas Menuju Kebenaran? Tidak Ada. Yang Ada Hanya Salah Jalan

Dan ketika manusia akhirnya salah? Wah, drama dimulai. Kita menyalahkan apa saja: cuaca, sandal jepit, lampu jalan, bahkan receh: “Tadi kalau sendoknya nggak meleset pasti aku nggak begini.” Semua disalahkan kecuali biang keladinya: diri sendiri yang kelewat percaya diri.

Oleh : Rr. Wening Jati

Kesalahan sebenarnya sudah terlalu sabar menghadapi manusia. Bayangkan, setiap hari ia bekerja lembur mengajari kita cara berpikir, tapi yang dapat justru reputasi buruk. Seakan-akan kesalahan adalah hantu jahat yang datang tengah malam untuk menakut-nakuti, padahal kalau ia bisa protes, mungkin ia akan berkata: “Halo, aku ini justru penyelamat hidupmu. Sedikit berterima kasih boleh kali.”

Manusia, dengan segala rasa percaya dirinya, selalu merasa paling benar. Baru salah sedikit sudah panik, seolah namanya akan diumumkan di toa masjid sebagai “warga yang melakukan kebodohan tingkat RT.” Padahal faktanya, semua orang pernah salah—bahkan orang yang paling rajin memposting kutipan bijak pun biasanya menyembunyikan folder penuh blunder pribadi.

Lebih lucu lagi, banyak yang menghindari kesalahan seperti menghindari mantan yang masih punya utang. Mereka takut salah karena takut terlihat bodoh. Padahal kebodohan sejati justru ada pada orang yang berpikir dirinya terlalu pintar untuk salah. Mereka berjalan di kehidupan seperti robot demo: baterainya cepat habis, tapi sok yakin jalurnya sudah benar.

Dan ketika manusia akhirnya salah? Wah, drama dimulai. Kita menyalahkan apa saja: cuaca, sandal jepit, lampu jalan, bahkan receh: “Tadi kalau sendoknya nggak meleset pasti aku nggak begini.” Semua disalahkan kecuali biang keladinya: diri sendiri yang kelewat percaya diri.

Padahal, kesalahan dengan sabar menuntun kita. Ia bagaikan guru yang tiap hari datang tanpa digaji, tapi kita malah memandangnya seperti debt collector. Ia memberi tanda-tanda kecil: “Hei, itu jangan dilakukan.” Tapi manusia membacanya seperti notifikasi aplikasi yang langsung di-swipe tanpa dibaca.

Kebenaran pun tidak datang lewat jalan lurus yang penuh papan petunjuk. Ia lebih suka bersembunyi di tikungan gelap, menunggu kita salah belok dulu. Dan setelah jatuh, barulah kita berkata pelan: “Oh, ternyata begitu caranya.” Indah sekali proses belajarnya—sayang, ego manusia terlalu besar untuk mengakui bahwa pelajaran itu datang dari kesalahan, bukan dari teori hidup yang kita kutip dari Instagram motivasi.

Pada akhirnya, kesalahan selalu menang. Bukan karena ia kuat, tapi karena manusia terlalu sibuk tampil sempurna sehingga lupa belajar. Kesalahan hanya duduk manis di pojok, sambil berkata: “Tenang saja, aku tetap akan ada untukmu. Sampai kapan pun.”

Dan jujur saja, tanpa kesalahan, hidup manusia cuma akan berisi orang-orang sok tahu yang tak pernah tahu bahwa dirinya sebenarnya… ya, salah.

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments