spot_img
BerandaBudayaHIK Jantung Malam Kota Solo

HIK Jantung Malam Kota Solo

Dengan uang sepuluh ribu saja, sudah cukup untuk menyantap sepiring nasi dengan lauk sederhana, ditemani segelas teh ala Solo. Tentunya bukan sembarang teh, melainkan teh kampul yang “nyampleng”, penuh cita rasa. Setiap pengusaha hik memiliki racikan berbeda perpaduan beberapa merek teh, dengan komposisi khas yang membuat lidah selalu rindu.

Ora ngerti Solo yen durung lungguh ning HIK

LESINDO.COM – Bagi warga Solo, malam bukan sekadar waktu untuk pulang dan beristirahat. Di banyak sudut jalan, lampu yang di balut dengan cahaya remang-remang, tikar digelar, dan meja kayu sederhana dipenuhi lauk pauk. Itulah HIK, singkatan dari Hidangan Istimewa Kampung, yang bagi orang Solo jauh lebih familiar daripada sebutan angkringan. HIK bukan hanya soal menu murah meriah. Nasi kucing, sate kere, tempe gembus, hingga gorengan panas tersaji di atas meja. Minuman hangat seperti teh nasgitel panas, legi, kenthel atau kopi jos dengan bara arang menyala, jadi teman setia obrolan hingga larut malam.

Namun daya tarik HIK sejatinya ada pada suasananya. Di satu tikar, bisa duduk berdampingan mahasiswa, buruh, pedagang, hingga pejabat lokal. Status sosial melebur dalam tawa dan cerita. Di sini, tidak ada jarak. “Kalau belum duduk di HIK, belum kenal Solo,” ujar Mas Tanto, pedagang HIK generasi kedua di kawasan alun-alun lor. HIK adalah jantung malam kota Solo. Tempat di mana perut kenyang, hati hangat, dan persaudaraan terasa tanpa banyak kata.

Konsep penjual hik yang sekarang sudah menggunakan gerobak yang sudah di design sedemikian rupa agar 2 tungku ceret yang berisi selalu panas, kalau ke hik pasti minumnya selalu tersedia panas. (mac)

Dengan uang sepuluh ribu saja, sudah cukup untuk menyantap sepiring nasi dengan lauk sederhana, ditemani segelas teh ala Solo. Tentunya bukan sembarang teh, melainkan teh kampul yang “nyampleng”, penuh cita rasa. Setiap pengusaha hik memiliki racikan berbeda perpaduan beberapa merek teh, dengan komposisi khas yang membuat lidah selalu rindu.

Rasa pahit sepet yang berpadu dengan warna pekat, atau dalam istilah Jawa disebut ginastel panas, legi, kenthel sering kali sudah bisa ditebak sejak aromanya pertama menyeruak. Dari keharuman itu saja, orang tahu  inilah teh yang punya ruh, teh yang maknyus, teh yang tak sekadar minuman, tetapi bagian dari budaya kuliner Solo yang hangat dan egaliter.

Bedanya dengan angkringan di Jogja, orang Solo lebih sering menyebut “ayo nongkrong di HIK” ketimbang “angkringan”. Menunya mirip  nasi kucing, sate usus, sate kere, gorengan, plus minuman hangat seperti teh nasgitel (panas, legi, kenthel) atau kopi jos. HIK di Solo bukan sekadar tempat makan, tapi juga ruang sosial. Banyak obrolan santai, diskusi serius, sampai transaksi bisnis kecil lahir dari tikar sederhana HIK. Bahkan, ada ungkapan populer: “Ora ngerti Solo yen durung lungguh ning HIK.” (Belum kenal Solo kalau belum duduk di HIK). (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments