spot_img
BerandaBudayaGuruku Retro, Muridku Turbo

Guruku Retro, Muridku Turbo

Masalahnya, masih ada guru yang ibarat sepeda onthel tua: digowes manual, rantainya kendor, sadelnya keras, dan jelas sekali tidak punya GPS. Sementara murid sudah hafal rute digital, gurunya masih sibuk mencari tombol “login” sambil nyaris menyerah karena “password tidak sesuai.”

Selamat Hari KORPRI & Guru Nasional 

Ketika Guru Masih Mengayuh, Murid Sudah Melaju dengan GPS

LESINDO.COM – Di era Gen Z, murid-murid datang ke sekolah seperti ponsel keluaran terbaru: layar bening, fitur lengkap, tapi baterainya cepat habis. Mereka gesit menggeser layar, jempolnya lebih lincah daripada pikiran orang dewasa pada jam kerja. Kalau ditanya PR, jawabannya simpel: “Belum, sinyalnya ngelag.”

Di tengah ributnya dunia digital itu, guru dituntut untuk ikut melek teknologi. Bukan lagi cukup bisa menulis di papan tulis—sekarang harus bisa share screen, mute-mute siswa, dan membedakan mana aplikasi belajar dan mana aplikasi belanja.

Masalahnya, masih ada guru yang ibarat sepeda onthel tua: digowes manual, rantainya kendor, sadelnya keras, dan jelas sekali tidak punya GPS. Sementara murid sudah hafal rute digital, gurunya masih sibuk mencari tombol “login” sambil nyaris menyerah karena “password tidak sesuai.”

Ketika murid bilang, “Bu, saya kirim tugasnya lewat link.”
Gurunya balas, “Link opo, Le? Iki kok ra bisa dibukak.”
Ternyata yang dibuka folder musik tahun 2007.

Dan di antara benturan dua zaman—onthel manual yang sabar menggelinding dan arus digital yang tak kenal rem—Bu Guru tetap mengulas senyum. Senyum kecil yang menandai bahwa ia mungkin tertinggal oleh perangkat, tapi tidak oleh panggilan jiwanya.(mc)

Sistem pendidikan pun tak kalah satir: menuntut guru melakukan inovasi digital, tapi saat pelatihan malah disuruh duduk selama empat jam mendengarkan PowerPoint penuh teks seperti kitab leluhur. Ada juga workshop teknologi yang ironis: jaringan Wi-Fi-nya mati.

Kalau murid salah klik, itu disebut eksperimen belajar. Kalau guru salah klik, itu disebut “butuh pelatihan tambahan.”

Sementara itu, sekolah berharap guru segera “naik kelas digital.” Padahal smartphone milik guru memorinya tinggal dua gigabyte dan harus memilih: hapus foto cucu atau hapus aplikasi rapor? Tidak mungkin keduanya disimpan.

Murid Gen Z sudah pakai AI untuk mencari jawaban; gurunya masih pakai intuisi dan doa, berharap tidak salah memencet tombol yang membuat layar menghilang.

Tetapi, lucunya, guru-guru onthel ini tetap bertahan.
Tetap mengayuh.
Tetap hadir.
Tetap tersenyum meski sinyal zoom-nya hancur lebur.

Mereka mungkin lambat mengikuti zaman, tapi justru merekalah yang mengajari murid agar tidak tersesat ketika GPS-nya ngadat.

Sebab pada akhirnya, secanggih apa pun teknologi, tetap butuh seseorang yang mau membunyikan bel sepeda dan berkata,
“Ayo, Le. Belajar maneh.” (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments