spot_img
BerandaBudayaGuru Dan Murid Di Era Digital: Antara Layar, Nilai, Dan Makna Belajar

Guru Dan Murid Di Era Digital: Antara Layar, Nilai, Dan Makna Belajar

“Hubungan guru dan murid bukan sekadar urusan materi pelajaran,” kata psikolog pendidikan, Dr. Hanifah Nur. “Ini tentang kepercayaan, empati, dan bimbingan karakter. Teknologi membantu, tapi manusia yang memberi makna.”

LESINDO.COM – Pagi itu, ruang kelas SMA di pinggiran kota Surakarta terasa sepi, hanya suara ketikan laptop dan gesekan jari di layar tablet yang terdengar. Di depan, Ibu Yuana— guru Bahasa Indonesia — tak lagi membawa buku tebal seperti dulu. Ia memegang tablet, menampilkan materi puisi lewat layar proyektor. Murid-muridnya mengikuti, bukan dengan buku catatan, tapi dengan membuka aplikasi Learning Management System yang terkoneksi internet sekolah.

“Sekarang murid saya lebih cepat dari saya kalau soal teknologi,” ujarnya sambil tersenyum. “Tugas saya bukan lagi memberi tahu, tapi menuntun mereka agar tahu mana yang benar.” Kalimat sederhana itu menggambarkan perubahan besar dalam hubungan guru dan murid di era digital. Bila dulu guru dianggap sumber utama ilmu, kini peran itu bergeser — teknologi hadir sebagai “guru kedua” yang selalu menemani murid di genggaman tangan mereka.

Dari Otoritas ke Kolaborasi

Dalam sistem pendidikan tradisional, guru adalah pusat. Namun kini, posisi itu menjadi lebih sejajar dan dialogis. Murid bebas berpendapat, mengoreksi, bahkan berbagi informasi baru yang mereka temukan secara daring. “Kadang saya justru belajar dari mereka,” kata Pak Dedi, guru fisika yang sudah 25 tahun mengajar. “Anak-anak bisa menemukan simulasi eksperimen di YouTube yang belum tentu saya tahu. Tapi di situ justru letak menariknya — kami saling belajar.” Hubungan guru dan murid tak lagi sekadar transfer pengetahuan, melainkan proses kolaboratif: guru sebagai fasilitator, murid sebagai penjelajah ide.

Tantangan di Balik Layar

Namun di balik kemudahan digital, ada tantangan baru yang tak kalah berat.
Banyak guru mengaku kehilangan kedekatan emosional dengan murid. Interaksi melalui layar sering membuat komunikasi terasa datar, tanpa tatapan, tanpa empati langsung. Belum lagi masalah etika digital: murid yang menyalin jawaban dari internet, menggunakan AI tanpa izin, hingga berkurangnya kemampuan sosial karena terlalu sering berinteraksi secara daring. “Teknologi memang hebat, tapi tanpa nilai, dia bisa kehilangan arah,” tutur Ibu Yuana. “Kita harus tetap menanamkan karakter — itu yang tak bisa diajarkan mesin.”

Menemukan Keseimbangan

Era digital menuntut guru dan murid untuk menemukan keseimbangan antara teknologi dan nilai kemanusiaan. Guru tetap harus menjadi teladan moral, sementara murid belajar memanfaatkan teknologi dengan tanggung jawab. Banyak sekolah kini mulai menerapkan pembelajaran hybrid, memadukan kelas daring dan tatap muka, agar interaksi manusiawi tetap hidup di tengah kemajuan teknologi.

“Hubungan guru dan murid bukan sekadar urusan materi pelajaran,” kata psikolog pendidikan, Dr. Hanifah Nur. “Ini tentang kepercayaan, empati, dan bimbingan karakter. Teknologi membantu, tapi manusia yang memberi makna.”

Arah Baru Pendidikan

Masa depan pendidikan tampaknya akan terus bergerak ke arah pembelajaran personal. AI dan sistem digital mungkin bisa menggantikan peran pengajar dalam aspek teknis, tapi tidak dalam menyentuh hati dan membentuk jiwa murid. Di tengah kemajuan ini, guru tetaplah sosok penting — bukan hanya pengajar ilmu, tetapi penjaga nilai dan penuntun arah hidup. Seperti kata Ibu Yuana menutup kelas daringnya hari itu, “Teknologi boleh canggih, tapi hati tetap harus hangat.” (Fai)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments