Di setiap awal dan akhir pertunjukan wayang kulit, satu bentuk selalu hadir di layar kelir: gunungan. Berdiri tegak di tengah panggung, bentuknya menyerupai kerucut—menyempit ke atas, kokoh di bawah. Bagi sebagian penonton, mungkin hanya sebatas tanda dimulainya kisah. Namun, bagi orang Jawa, gunungan bukan sekadar properti wayang. Ia adalah lambang kehidupan, peta spiritual, dan cermin filosofi semesta.
Gunungan, atau disebut juga kayon, melambangkan alam semesta dan perjalanan manusia di dalamnya. Bentuknya yang runcing di atas menggambarkan arah hidup manusia menuju satu titik: kesempurnaan dan penyatuan dengan Sang Pencipta. Sementara bagian bawah yang lebar menunjukkan dunia fana, tempat manusia berpijak dengan segala dinamika kehidupan—penuh nafsu, ambisi, dan pergulatan batin.
Di tengah-tengah gunungan biasanya tergambar pohon besar dengan berbagai hewan di sekitarnya. Pohon itu dikenal sebagai Kalpataru, pohon kehidupan yang menjadi simbol keseimbangan alam. Ia mengajarkan bahwa manusia, alam, dan Tuhan harus hidup dalam harmoni. Ketika salah satu unsur terganggu, kehidupan pun kehilangan keseimbangannya.
Dalam falsafah Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi—asal dan tujuan kehidupan. Gunungan mengingatkan manusia akan dua hal itu. Di tangan dalang, ia pertama kali ditegakkan saat lakon dimulai—menandakan awal mula kehidupan. Dan ketika cerita usai, gunungan kembali menutup layar, seolah berkata bahwa segala yang hidup akan kembali pada asalnya.
Secara simbolis, bentuk kerucut gunungan juga mencerminkan proses spiritual manusia. Semakin tinggi seseorang mendaki dalam perjalanan hidupnya, semakin sempit jalan menuju puncak. Hanya mereka yang mampu menaklukkan ego dan menyeimbangkan cipta, rasa, serta karsa yang dapat mencapai titik tertinggi: kesadaran sejati.
Gunungan bukan hanya lambang estetika pertunjukan wayang, tetapi juga pengingat akan makna hidup yang terus menanjak. Ia mengajarkan bahwa hidup bukan sekadar bergerak, melainkan mendaki—meninggalkan yang rendah, menuju yang luhur. Dalam setiap bayangan kelir, gunungan berdiri sebagai simbol abadi perjalanan manusia: dari bumi menuju langit, dari gelap menuju terang. (Fai)

