spot_img
BerandaJelajahjelajahGunung Penanggungan: Jejak Mahameru yang Jatuh dan Doa-doa yang Tak Pernah Usai

Gunung Penanggungan: Jejak Mahameru yang Jatuh dan Doa-doa yang Tak Pernah Usai

Secara geologis, Penanggungan adalah gunung api yang telah lama tertidur. Namun justru “ketenangan”-nya itulah yang membuatnya dipilih. Puncaknya dikelilingi empat bukit: Gajah Mungkur, Bekel, Kemuncup, dan Sarah Klopo. Formasi ini menyerupai mandala—pusat kosmos dalam ajaran Hindu-Buddha.

LESINDO.COM – Pagi di lereng Gunung Penanggungan selalu datang dengan cara yang pelan. Kabut menggantung rendah, seolah enggan beringsut dari sela-sela hutan dan batuan purba. Di sinilah, di perbatasan Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur, waktu seperti tidak benar-benar berjalan. Ia berhenti, lalu berputar, menunggu siapa saja yang bersedia mendengarkan kisah-kisah lama yang masih berdenyut di tubuh gunung ini.

Penanggungan bukan sekadar gunung. Ia adalah ingatan kolektif. Sebuah altar raksasa yang menyatukan mitologi, sejarah, dan laku spiritual manusia Jawa berabad-abad silam.

Mahameru yang Tercecer

Dalam kitab Tantu Panggelaran, kisahnya dimulai dari kegelisahan para dewa. Pulau Jawa, kala itu, diceritakan belum mantap—terombang-ambing di lautan kosmik. Untuk meneguhkannya, para dewa memindahkan puncak Mahameru dari India. Namun perjalanan sakral itu tak sepenuhnya utuh. Sebagian puncak suci terlepas, jatuh, dan menjelma gunung-gunung kecil di sepanjang Jawa.

Bagian terbesar menjadi Gunung Semeru. Sementara puncak paling atas—yang paling suci—jatuh terpisah dan menjadi Gunung Penanggungan. Dari sinilah keyakinan lahir: Penanggungan adalah Pawitra, bagian Mahameru yang disucikan, kembaran kosmik dari pusat semesta.

Mitos ini bukan dongeng kosong. Ia menjadi dasar cara pandang, cara membangun, dan cara manusia Jawa memaknai hubungan antara bumi dan langit.

Pawitra, Gunung Para Dewa

Dalam Negarakertagama, Penanggungan disebut sebagai Gunung Pawitra—suci. Di masa Kahuripan, Singasari, hingga Majapahit, gunung ini dipercaya sebagai tempat bersemayam para dewa, roh leluhur, dan arwah raja-raja yang telah menyatu dengan alam.

Para pendeta dan bangsawan tidak datang untuk menaklukkan gunung, melainkan mendaki dengan sikap tunduk. Setiap langkah adalah tapa, setiap helaan napas adalah doa. Gunung bukan objek, tetapi subjek—guru yang diam.

Seribu Candi di Lereng Sunyi

Meski Penanggungan tidak setinggi Arjuno atau Welirang di sekitarnya, Penanggungan memiliki posisi sangat istimewa secara sejarah dan spiritual, sehingga kerap disebut sebagai gunung suci dalam tradisi Jawa kuno. (mc)

Jejak laku spiritual itu masih terhampar nyata. Lebih dari 120 situs purbakala ditemukan di tubuh Penanggungan: candi, pertirtaan, petirtaan, hingga gua pertapaan. Jumlahnya membuat gunung ini dijuluki Gunung Seribu Candi.

Namun jangan bayangkan kemegahan seperti Borobudur atau Prambanan. Candi-candi di Penanggungan kecil, bersahaja, dan menyatu dengan alam. Banyak yang berbentuk punden berundak, menempel pada lereng, mengikuti kontur batu dan tanah. Seolah manusia hanya “menyempurnakan” apa yang sudah disediakan alam.

Candi Jolotundo dan Candi Belahan menjadi yang paling dikenal. Jolotundo, pertirtaan suci yang airnya tak pernah berhenti mengalir sejak abad ke-10, diyakini dibangun Raja Udayana dari Bali untuk putranya, Airlangga. Airnya jernih, dingin, dan hingga kini dipercaya membawa berkah—sebuah keyakinan yang bertahan melampaui zaman kerajaan.

Mandala Batu dan Kosmologi

Secara geologis, Penanggungan adalah gunung api yang telah lama tertidur. Namun justru “ketenangan”-nya itulah yang membuatnya dipilih. Puncaknya dikelilingi empat bukit: Gajah Mungkur, Bekel, Kemuncup, dan Sarah Klopo. Formasi ini menyerupai mandala—pusat kosmos dalam ajaran Hindu-Buddha.

Bagi masyarakat masa lalu, ini bukan kebetulan. Alam dianggap telah “siap”, tinggal dibaca dan dihormati. Penanggungan bukan hanya tempat ibadah, melainkan peta kosmologi yang bisa disentuh.

Gunung yang Masih Berdoa

Hari ini, Penanggungan tetap didaki. Oleh pendaki, peziarah, peneliti, juga mereka yang sekadar mencari sunyi. Namun gunung ini seolah menuntut satu hal yang sama dari siapa pun: kesadaran.

Di Penanggungan, suara langkah terdengar lebih keras dari biasanya. Setiap batu seperti menyimpan cerita. Setiap reruntuhan mengajarkan bahwa peradaban besar tak selalu meninggalkan monumen megah—kadang hanya jejak kesunyian dan keselarasan.

Mungkin itulah sebabnya Penanggungan tak pernah benar-benar ramai. Ia memilih siapa yang boleh masuk ke dalam ingatannya. Seperti Pawitra namanya, ia menyucikan dengan cara yang halus: mengingatkan manusia agar tidak merasa paling berkuasa di hadapan alam dan sejarah.

Di lereng gunung ini, Mahameru memang telah jatuh. Tetapi nilai-nilainya—tentang keseimbangan, kerendahan hati, dan laku batin—masih tegak berdiri, menunggu untuk kembali dipahami.(Din)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments