LESINDO.COM – Embun pagi masih bergelayut di atas air Sungai Cijulang ketika deru perahu ketinting mulai terdengar pelan. Di depan, kabut menari di antara tebing batu yang menjulang tinggi, seolah membuka gerbang menuju dunia lain. Beginilah sensasi pertama ketika menyusuri Grand Canyon Pangandaran atau yang lebih dikenal sebagai Green Canyon oleh para wisatawan.
Airnya hijau toska, jernih memantulkan cahaya matahari yang menembus dedaunan. Di kiri-kanan, dinding batu kapur berdiri megah setinggi puluhan meter, dihiasi lumut dan tetesan air yang tak pernah berhenti fenomena yang oleh penduduk sekitar disebut hujan abadi. Suaranya berpadu lembut dengan gemericik air sungai, menciptakan harmoni alami yang menenangkan.
“Kalau lagi musim kemarau pun, tetesan air ini tetap ada,” ujar Dadang, salah satu pemandu wisata lokal yang sudah 15 tahun mengantar wisatawan menyusuri sungai. “Rasanya kayak alam yang selalu hidup, nggak pernah kering.”
Sebelum dikenal sebagai Green Canyon, masyarakat Sunda menamainya Cukang Taneuh, artinya jembatan tanah. Nama ini berasal dari jembatan alami yang terbentuk di atas sungai, menjadi penghubung alami dua tebing batu. Baru pada tahun 1993, seorang wisatawan asal Prancis memberi julukan “Green Canyon” karena pesona tebingnya yang mengingatkan pada Grand Canyon di Amerika. Namun, tak seperti padang tandus di Arizona, ngarai ini menyimpan kehidupan tropis yang rimbun dan sejuk.
Petualangan Menantang di Tengah Alam

Setelah sekitar 30 menit perjalanan perahu, pengunjung tiba di titik utama: mulut goa besar yang menjadi ikon Green Canyon. Di sinilah adrenalin mulai mengalir pengunjung bisa berenang mengikuti arus sungai, meloncat dari tebing setinggi 5 meter di spot Batu Payung, atau melakukan body rafting dengan pelampung menyusuri air jernih di antara batu-batu besar.
Bagi yang tidak ingin terlalu basah, cukup duduk di batu dan menikmati pemandangan suara air, pancaran cahaya dari celah tebing, dan udara lembab yang segar membuat siapa pun betah berlama-lama.
Seiring meningkatnya jumlah wisatawan, Green Canyon juga menghadapi tantangan. Polusi suara dan air dari mesin perahu berbahan bakar minyak masih menjadi perhatian. Sejak 2023, pemerintah daerah dan PLN mulai memperkenalkan perahu listrik ramah lingkungan untuk menjaga kualitas air dan ketenangan suasana.
“Suara mesinnya jauh lebih halus, air juga nggak terkontaminasi oli,” jelas Dadang sambil menunjuk salah satu perahu listrik yang sedang bersandar di dermaga Ciseureuh. “Harapan kami, semua perahu nanti bisa beralih ke listrik.”
Pesona yang Tak Pernah Padam

Menjelang sore, warna air berubah keemasan tertimpa sinar matahari senja. Dari mulut gua, tampak cahaya jingga yang menembus celah batu, menimbulkan pantulan indah di permukaan air. Momen ini sering disebut wisatawan sebagai the golden hour of Green Canyon waktu terbaik untuk menikmati keindahan tanpa kata.
“Kadang saya masih merinding,” kata Dadang pelan. “Padahal tiap hari saya ke sini, tapi setiap kali matahari mulai turun, rasanya tetap aja ajaib.”
Grand Canyon Pangandaran bukan sekadar destinasi wisata, tapi juga ruang perenungan tentang bagaimana alam dan manusia bisa saling berdampingan dalam harmoni. Di sinilah, di antara tebing dan air yang abadi, kita diajak untuk kembali memahami arti keindahan yang sesungguhnya. (Jih)

