spot_img
BerandaHumanioraGerombolan Si Berat dan Gudang Uang Bernama Negara

Gerombolan Si Berat dan Gudang Uang Bernama Negara

Oleh Wening Jati  

Setiap kali korupsi kembali mencuat ke permukaan—entah lewat operasi tangkap tangan, laporan audit, atau sekadar bisik-bisik warung kopi—ingatan saya selalu melompat ke Kota Bebek. Bukan ke Paman Goban yang pelit namun jenius, melainkan ke sekelompok tokoh berpenutup wajah hitam, bergaris penjara, dan berotak satu arah: Gerombolan Si Berat.

Karakter ciptaan Carl Barks itu sejak 1951 tak pernah berubah. Mereka tidak punya jabatan, tak mengenal sumpah, apalagi etika. Satu-satunya hal yang berdenyut di kepala mereka adalah uang—Gudang Uang Paman Goban. Merampok, gagal, masuk penjara, keluar, lalu mengulang lagi. Tidak ada pertobatan. Tidak ada rasa malu. Yang ada hanya konsistensi pada kejahatan.

Aneh memang, betapa tokoh kartun yang tampak konyol itu justru terasa begitu akrab di negeri ini.

Di dunia nyata, gerombolan itu menjelma dalam rupa yang lebih rapi. Mereka mengenakan jas, batik, atau seragam dinas. Mereka punya jabatan, gelar, dan panggung kehormatan. Tapi di kepalanya, sering kali tak jauh berbeda: harta adalah tujuan hidup, negara hanyalah gudang uang dengan banyak pintu yang bisa dibobol.

Jika tidak ada kesempatan, maka kesempatan diciptakan. Proyek diadakan, anggaran dipoles, regulasi dilenturkan. Semua sah di atas kertas, licin di bawah meja. Seperti Si Berat, mereka tidak menunggu peluang—mereka merakitnya.

Bedanya, Gerombolan Si Berat di Kota Bebek selalu gagal karena kebodohan sendiri. Sementara di negeri ini, kegagalan justru sering datang karena ketidaksengajaan: bocor rekaman, salah hitung setoran, atau lupa bahwa masih ada kamera dan jaksa. Bukan karena nurani.

Yang lebih mengganggu, di dunia nyata, gerombolan ini tidak selalu turun langsung. Ada versi yang lebih halus. Pejabat yang tampak santun, berbicara etika dan pembangunan, namun di belakang layar memelihara “si berat-si berat” kecil: buzzer, preman proyek, makelar kebijakan. Mereka yang bertugas membersihkan jalan, membungkam penentang, atau mengamankan arus uang.

Gerombolan Si Berat pun berevolusi. Mereka bukan lagi sekadar perampok, tapi alat. Dipakai, dilepas, lalu dipakai lagi. Selama gudang uang masih berdiri, selama negara terus dipersempit maknanya menjadi kas besar tanpa pemilik, mereka akan selalu ada.

Yang paling ironis: kegagalan tidak pernah membuat jera. Seperti Si Berat yang keluar penjara dengan rencana baru, para koruptor kita keluar dengan wajah tenang, kadang disambut karangan bunga, kadang masih sempat menulis buku moral. Penjara menjadi jeda, bukan akhir. Hukuman menjadi risiko, bukan pelajaran.

Mungkin itulah bedanya kartun dan kenyataan. Di Kota Bebek, kita tertawa karena tahu kebaikan akan menang. Di negeri ini, tawa sering tertahan di tenggorokan—karena yang dirampok bukan koin emas, melainkan harapan orang banyak.

Dan selama Gudang Uang itu masih bernama negara, Gerombolan Si Berat akan terus hidup—bukan di layar komik, tapi di halaman berita.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments