Oleh You Srie
Di sebuah ruang keluarga pada suatu sore, seorang bapak dari Generasi X duduk sambil memicingkan mata ke layar ponsel. Bukan karena ia sedang menahan emosi, tetapi karena huruf-huruf itu kini seperti mengecil setiap tahun—dan perpanjangan tangan untuk membaca sudah mencapai batas lengan manusia normal. Sedikit lagi, ia mungkin harus menambah sendi.
Generasi X adalah generasi yang lahir dalam dunia yang masih berbau kertas, debu kapur sekolah, dan musik yang setia menunggu di radio. Mereka tumbuh dengan suara kresek radio AM, televisi bergambar garis-garis yang berubah sesuai arah angin, dan telepon rumah berkabel yang menyeret langkah siapa pun yang terlalu ceroboh.
Namun dunia tiba-tiba berubah—bukan perlahan, tapi seperti seseorang menekan tombol fast-forward tanpa peringatan. Dalam satu rentang hidup, mereka menyaksikan radio menjelma jadi aplikasi, stasiun televisi beranak-pinak lalu perlahan diabaikan oleh generasi yang lahir dengan gawai di tangan, dan mesin ketik menjelma menjadi layar sentuh yang bisa mengoreksi kata sebelum selesai diketik.
Bagi Generasi X, perubahan itu bukan hanya tentang teknologi; itu tentang cara mereka mengenali diri. Tentang bagaimana sesuatu yang dulu dianggap futuristik kini menjadi kewajiban harian. Tentang bagaimana dunia bergerak begitu cepat, sampai-sampai mereka sering merasa tertinggal sebelum sempat memulai.
Kini, babak baru datang—lebih sunyi, lebih abstrak: kecerdasan buatan.
Di usia ketika mata mulai rabun dan kepala sedikit lebih pelan merangkai logika, mereka dihadapkan pada chatbot, algoritma, dan perangkat yang katanya bisa berpikir sendiri. Mereka belajar ulang, bukan karena ingin menjadi “kekinian,” tetapi karena hidup modern menuntutnya. Karena formulir rumah sakit kini digital. Tagihan listrik datang lewat aplikasi. Dan cucu mereka mungkin nanti lebih dulu berkata “halo” ke robot daripada ke manusia.
Namun di balik guratan dan napas pendek saat mempelajari teknologi baru, ada keteguhan yang jarang disadari. Generasi X adalah generasi yang tidak pernah benar-benar menyerah. Mereka mungkin tertinggal sepersekian langkah, tetapi mereka belajar dengan cara yang sama seperti mereka menghadapi hidup sejak dulu: pelan, teliti, kadang sambil menggerutu—tapi tetap maju.
Mereka tahu dunia tidak akan menunggu. Maka mereka memilih mengikuti, meski sambil sesekali bercanda:
“Dulu hidup lebih sederhana. Sekarang… ya sudahlah. Kita ikut saja—selama huruf di layar masih bisa dibaca.”
Di antara layar yang terlalu terang dan teknologi yang bergerak lebih cepat daripada usia, Generasi X tetap berdiri. Tidak selalu yakin, tidak selalu siap, tetapi selalu berusaha. Di situlah letaknya: ketabahan yang tidak perlu diumumkan, hanya dijalani.

