spot_img
BerandaHumanioraGendot dari Negeri Kabut: Jejak Cabai Pendatang yang Menjadi Ikon Dieng

Gendot dari Negeri Kabut: Jejak Cabai Pendatang yang Menjadi Ikon Dieng

Selain nilai ekonomi, para petani juga memahami manfaat kesehatan cabai gendot. Kandungan vitamin C-nya tinggi, cocok untuk daerah yang udara dinginnya kerap membuat tubuh rentan flu. Capsaicin yang kuat memberi efek hangat alami, dan bagi sebagian warga Dieng, cabai gendot menjadi “pengganti jahe” ketika cuaca terlalu menusuk.

LESINDO.COM – Kabut turun pelan-pelan di lereng Dieng saat matahari baru saja menembus garis cakrawala. Daun-daun kentang dan carica masih memantulkan sisa embun. Di sela barisan tanaman yang lebih rendah, tampak bulatan-bulatan kecil berwarna hijau mengilat—calon cabai gendot yang sebentar lagi berubah jingga menyala. Di ketinggian yang sering menusuk tulang, cabai gendot tumbuh bagai penjaga kecil yang salah masuk negeri dingin, namun justru menemukan rumah barunya di sini.

Di sebuah petak lahan di Desa Dieng Kulon, seorang lelaki berkot caping berhenti sejenak, merapatkan jaket wolnya, lalu menatap barisan cabai yang tumbuh rapi. Ia adalah Slamet (52), petani yang sejak hampir dua dekade terakhir menanam gendot.

Awalnya bukan dari sini, Mas. Ini tanaman pendatang, tapi Dieng kok ya cocok nian. Dingin begini malah subur,” ujarnya sembari memutar batang cabai gendot yang bulat bongsor. “Dulu katanya bibitnya dibawa peneliti yang survei tanaman dataran tinggi. Kami coba-coba, eh… jadinya malah jadi ciri khas sini.

Asal-usul cabai gendot memang tak bermula dari tanah Dieng. Ia berasal dari rumpun Capsicum chinense, satu keluarga dengan habanero Meksiko—terkenal buah kecil tapi menyengat. Namun setelah puluhan tahun hidup di tanah vulkanik Dieng, cabai gendot berubah rupa: lebih montok, lebih wangi, dengan tingkat kepedasan yang menyala namun tak sekeras saudara jauh di Karibia. Warga setempat menyebutnya “gendot” karena bentuknya yang “gendut”, bulat seperti mini paprika.

Di pasar-pasar Wonosobo, cabai ini menempati ruang tersendiri: tak seperti rawit, tak persis seperti habanero. Ia punya aroma manis-fruity yang khas—sejenis keharuman yang oleh para juru masak dianggap sebagai “sentuhan Dieng”.

Di rumah kayunya yang menghadap lembah, Sri Wahyuningsih (41), ibu rumah tangga yang sekaligus pengolah sambal khas Dieng, menunjukkan hasil panen hari itu. Tangannya lincah memilah cabai jingga yang masih segar.

Kalau buat sambal mie ongklok itu harus pakai gendot. Pedesnya nendang, tapi nggak bikin serak.” katanya. Ia tersenyum kecil sambil membuka tutup botol sambal fermentasi yang sedang ia proses. “Kami biasanya campur bawang putih, garam, sama sedikit gula. Seminggu jadi, aromanya wangi banget.

Sri bercerita bahwa permintaan cabai gendot meningkat setiap musim liburan. Wisatawan yang berkunjung ke Dieng sering membawa pulang cabai gendot segar atau sambal olahannya sebagai oleh-oleh.

Banyak yang bilang ini pedasnya beda. Pedes tapi ada rasa manis, aromanya juga kayak buah. Padahal ya cuma cabai, tapi tanah sini bikin rasanya istimewa.

Tubuhan lombok gendot berbeda dari cabai rawit atau cabe keriting yang umum dijumpai di daerah panas. Gendpt tumbuh di ketinggian lebih dari 1.500 mdpl, ia berkembang dalam suhu dingin Dieng yang berkabut. (mc)

Di kalangan petani, cabai gendot bukan sekadar komoditas sambilan. Dalam beberapa tahun terakhir, ia menjadi penyelamat ketika harga kentang jatuh. Tanaman ini lebih tahan cuaca dingin ekstrem dan waktu panennya lebih pendek.

Kalau paceklik, gendot ini yang nutupi kebutuhan. Harga bisa stabil, dan nggak butuh obat banyak,” kata Slamet lagi. Ia menambahkan, cuaca Dieng yang dingin justru membuat tanaman gendot lebih tahan hama.

Tak hanya menghangatkan dapur, cabai gendot juga menghangatkan ekonomi rumah tangga. Beberapa kelompok tani kini mengekspor sambal gendot ke Yogyakarta dan Semarang, bahkan merambah pasar daring. Bentuknya yang unik—mirip buah mini berkulit tebal—menarik perhatian pembeli yang penasaran.

Selain nilai ekonomi, para petani juga memahami manfaat kesehatan cabai gendot. Kandungan vitamin C-nya tinggi, cocok untuk daerah yang udara dinginnya kerap membuat tubuh rentan flu. Capsaicin yang kuat memberi efek hangat alami, dan bagi sebagian warga Dieng, cabai gendot menjadi “pengganti jahe” ketika cuaca terlalu menusuk.

Kalau pagi dingin sekali, kami bikin oseng gendot. Wah, langsung keringetan. Badan jadi enak,” ujar Sri sambil tertawa.

Di balik kesederhanaan itu, cabai gendot ikut merawat identitas kuliner dataran tinggi: pedas yang khas, aromatik, dan menghangatkan.

Sore hari mulai turun ketika para petani menggulung terpal dan bersiap pulang. Kabut kembali merayap, menutup ladang seolah merawat tanaman gendot itu agar tetap betah di negeri dingin. Dari kejauhan, semburat jingga pada pucuk-pucuk cabai terlihat seperti lampu-lampu kecil yang masih menyala, menunggu tangan petani memetiknya esok pagi.

Cabai gendot mungkin berasal dari jauh, tetapi Dieng—dengan kabutnya, hawanya, tanahnya—telah menjadikannya bagian dari cerita dataran tinggi. Cerita tentang tanaman pendatang yang menemukan rumah, dan manusia-manusia gigih yang merawatnya menjadi kebanggaan baru di tanah yang sunyi namun subur itu. (Fai)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments