Oleh You Srie
Genersi X Bagian 1
Gen-X lahir di masa Orde Baru—zaman ketika negara memerintahkan warganya untuk tenang, diam, dan jangan kreatif-kreatif amat. Maka dari itu, Gen-X tumbuh menjadi generasi yang refleks menunduk kalau dengar mikrofon berbunyi “tes… tes…”. Mereka besar dalam suasana stabilitas yang begitu stabil, sampai-sampai suara kritik harus antre seperti minyak tanah.
Saat dewasa muda, hidup langsung dilempar ke Reformasi 98, lengkap dengan krisis moneter yang membuat mereka percaya bahwa uang bisa menguap lebih cepat dari air sumur di musim kemarau. Tak heran Gen-X hemat: bukan karena pelit, tapi karena pernah melihat harga mie instan bisa naik dalam semalam. Mental mereka ditempa bukan oleh motivator, tapi oleh antrian sembako.
Teknologi bagi Gen-X adalah olahraga jantung:
– Zaman kecil: TVRI satu-satunya saluran, itupun kadang “harap bersabar, sedang ada gangguan teknis”.
– Zaman muda: Komputer tabung beratnya seperti dosa, SMS mahal, dan ringtone polifonik dianggap kemewahan.
– Zaman sekarang: Mereka belajar Zoom sambil bilang, “Loh, kok muka saya gede banget?”
Gen-X bukan digital native, tapi digital immigrant yang sering tersesat di bandara. Kalau ada scammer telepon minta OTP, mereka jawab dengan ramah: “Nggih mas, sebentar saya carikan.”
Karakter Gen-X terbentuk oleh hidup yang kurang romantis:
– Mandiri karena kalau ngadu nggak ada yang dengar.
– Pragmatis karena idealisme itu dianggap hanya cocok untuk lomba pidato 17 Agustusan.
– Berkepala dingin karena sudah sering disuruh “tenang… tenang… semua terkendali” bahkan saat semuanya jelas-jelas tidak terkendali.
– Tidak suka flexing karena dulu pamer dianggap berbahaya, sekarang malah tidak punya waktu.
– Loyal bekerja, tapi juga realistis: “Kantor butuh saya? Tentu. Tapi punggung saya juga butuh kasur.”
Sumber hiburan Gen-X pun khas: mendengar musik yang membuat mereka merasa masih muda (walau lutut berkata lain), membaca berita dari grup WhatsApp yang kadang isinya lebih dramatis daripada sinetron era 90-an, dan menatap Facebook sebagai museum kenangan personal yang tidak pernah mereka kurasi.
Kini Gen-X memimpin banyak instansi, menjadi birokrat senior, pengusaha mapan, aparat senior, hingga pengurus RT yang paling galak menertibkan parkir miring. Mereka memegang jabatan-jabatan penting, tapi ironisnya tetap harus bertanya pada staf muda:
“Password Wi-Fi yang baru apa? Kenapa tiap minggu ganti? Siapa yang ganti? Dan kenapa saya nggak diberi tahu?”
Tantangan Gen-X hari ini lengkap seperti paket lengkap cobaan hidup:
– Mengurus orang tua yang semakin sepuh,
– Menghidupi anak Gen-Z yang pandai mendebat tapi tidak pandai menyapu,
– Dan tetap harus tampil profesional di kantor meski kalah cepat dari milenial yang bicara growth mindset sambil memegang kopi 70 ribu.
Terkadang Gen-X ingin meneriakkan kekesalan pada dunia modern:
“Kenapa semua harus digital-digital? Saya ini manusia, bukan aplikasi!”
Tapi mereka tahan.
Seperti pepatah Jawa yang sering mereka pakai, “urip iku mung mampir ngopi.”
Sayangnya, kopi yang mereka minum sekarang sering keburu dingin karena harus mengurus semuanya: negara, kantor, orang tua, anak, dan grup WhatsApp keluarga.

