spot_img
BerandaHumanioraGelembung yang Tak Pernah Menyerah, Meski Hidup Sering Pecah

Gelembung yang Tak Pernah Menyerah, Meski Hidup Sering Pecah

Aku menuruti permintaan sunyi itu. Menunggu gelembung-gelembung beterbangan, menunggu senyum istrinya yang tak lekang oleh dingin, menunggu momen di mana hidup yang berat terasa sedikit ringan karena kamera menjadi jembatan kemanusiaan.

LESINDO.COM – Bahagia itu, kalau dipikir-pikir, tidak pernah benar-benar rumit. Kadang cuma butuh sepasang bibir yang digeserkan beberapa milimeter. Tarik kiri 2 cm, tarik kanan 2 cm—jadi. Tidak perlu SOP khusus, tidak perlu tanda tangan basah, bahkan tidak perlu rapat koordinasi. Tapi anehnya, banyak orang yang merasa senyum itu pekerjaan berat, seperti mengangkat gajah menggunakan sumpit.

Mungkin karena hidup sedang mode “hard”. Dikejar setoran, ditagih janji, diburu mimpi. Atau mungkin karena hidup terlalu sering menampar sebelum sempat berharap. Maka jangan heran kalau ada orang yang senyumnya cuma sebelah—yang kiri 2 cm, yang kanan tetap bandel di tempat. Itu bukan berarti dia sedang gaya ala model editorial; bisa jadi syaraf sedang protes, atau hatinya sedang penuh seperti dompet tanggal 1 dan kosong tanggal 25.

Di tengah kabut dingin Candi Arjuna, ketika napas sendiri terasa seperti uap mie instan, mataku menangkap sepasang manusia yang tidak tunduk pada suramnya cuaca. Suami-istri penjual gelembung sabun—yang dari jauh terlihat seperti dua pelancong yang tersesat tapi memilih bahagia dulu saja.

Mereka berdiri di luar pagar candi. Tidak di dalam, tidak di tengah, tapi tetap dalam wilayah hidup di mana harapan masih boleh dijual eceran. Sang istri memutar bubble wand ke kiri dan kanan, menghasilkan gelembung-gelembung bening yang terbang ke udara seperti doa-doa kecil yang tidak terlalu yakin akan dikabulkan, tapi tetap dikirimkan.

Gelembung itu pecah sebelum sempat jauh, namun tetap terlihat cantik sedetik sebelum hilang. Seperti perasaan manusia: indah, cepat, dan gampang pecah kalau kena angin gosip.

Di balik semua itu, sang suami berdiri sambil memperhatikan. Senyumnya hangat, tubuhnya agak membungkuk oleh angin, tapi matanya berbinar: mata orang yang sadar bahwa bahagia tidak harus menunggu pembeli datang. Saat melihat kameraku mengarah ke mereka, refleks ia memasang pose diam-diam—pose universal khas orang kecil yang jarang dapat sorotan tapi diam-diam ingin terekam dunia.

Tanpa bicara, tanpa kode apa pun, aku tahu ia ingin diabadikan sekali lagi. Dengan gerakan kecil tangannya, ia mengirim pesan lembut: “Kalau bisa, foto aku lagi. Siapa tahu hari ini ada cerita baik untuk dibawa pulang.”

Aku menuruti permintaan sunyi itu. Menunggu gelembung-gelembung beterbangan, menunggu senyum istrinya yang tak lekang oleh dingin, menunggu momen di mana hidup yang berat terasa sedikit ringan karena kamera menjadi jembatan kemanusiaan.

Yang paling menggetarkan bukan gelembungnya, bukan senyumnya, bukan posenya—melainkan kegigihan mereka menjaga ceria, di tengah cuaca yang bahkan matahari pun memilih lembur sambil ragu-ragu keluar.

Entah ada pembeli atau tidak, sang istri tak berhenti bermain gelembung. Ia mengayunkan tongkatnya seperti seorang maestro orkestra yang memimpin lagu tanpa penonton. Kadang angin membuat gelembungnya pecah sebelum sempat terbang, tapi ia tetap mengulangnya dengan senyum sederhana yang telah ditempa oleh hidup yang tidak sederhana.

Di antara kabut, dingin, dan keramaian wisatawan yang lebih sibuk memikirkan angle foto, pasangan itu tetap teguh dengan dunia kecil mereka: dunia yang hanya butuh sebatang tongkat, segenggam sabun, dan hati yang tak putus asa.

Senyum mereka mengingatkanku pada satu hal: ketika manusia sudah tidak punya apa-apa, senyum adalah harta terakhir yang bisa dibagikan. Mudah, murah, tapi punya nilai lebih tinggi dari tiket masuk candi dan lebih abadi dari gelembung yang terbang.

Tersenyumlah selagi bibir masih patuh. Berbagilah selagi hati belum membatu. Karena jika suatu hari kita pergi, yang seringkali tertinggal bukan nama, bukan jabatan, bukan saldo—tapi bayangan kecil tentang bagaimana kita tersenyum.

Dan jika tak ada yang mengingat? Tidak apa-apa. Yang penting kita pernah mencoba menjadi gelembung kecil yang sempat berkilau sebelum pecah. (mac)

 

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments