spot_img
BerandaBudayaGedong Songo: Jejak Para Dewa, Rintihan Legenda, dan Langkah Manusia Hari Ini

Gedong Songo: Jejak Para Dewa, Rintihan Legenda, dan Langkah Manusia Hari Ini

Masyarakat setempat percaya Gunung Ungaran adalah tempat Hanoman menimbun Dasamuka (Rahwana) setelah perang besar Ramayana. Raksasa itu tidak mati, hanya tertimbun—dan rintihannya dipercaya menjadi asal-usul sumber air panas belerang di tengah kompleks candi.

LESINDO.COM – Kabut pagi di lereng Gunung Ungaran tidak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berpindah—kadang menyingkir untuk memberi ruang pada cahaya, kadang kembali turun seperti ingin menjaga rahasia. Di sanalah Candi Gedong Songo berdiri, tersebar, tidak serentak, seolah sengaja dibuat agar manusia belajar berjalan perlahan sebelum sampai pada pemahaman.

Gedong Songo bukan sekadar situs purbakala. Ia adalah perjalanan—secara geografis, sejarah, dan batin.

Dari Kahyangan ke Lereng Ungaran

Sekitar abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, ketika Kerajaan Mataram Kuno berada pada masa awal kejayaannya, lereng Gunung Ungaran dipilih sebagai tempat suci. Bukan kebetulan. Dalam kosmologi Hindu, gunung adalah poros semesta—tempat para dewa bersemayam, penghubung antara dunia manusia dan kahyangan.

Candi-candi di Gedong Songo dibangun pada masa Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya, bercorak Hindu Siwa. Arca Siwa Mahaguru, Mahakala, dan Ganesha menjadi penanda bahwa kawasan ini bukan sekadar tempat ritual, tetapi ruang kontemplasi spiritual. Ketinggiannya—sekitar 1.200 meter di atas permukaan laut—adalah simbol ikhtiar manusia mendekati yang ilahi, bukan dengan terbang, melainkan dengan mendaki.

Menariknya, tidak seperti Borobudur atau Prambanan yang megah dan terpusat, Gedong Songo tersebar. Satu candi ke candi lain dipisahkan oleh jarak, tanjakan, dan lembah kecil. Seakan para empu masa lalu ingin berkata: kesucian tidak datang sekaligus, ia dicapai melalui perjalanan.

Hilang, Lalu Ditemukan Kembali

Candi-candi ini berdiri sejak abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, ketika Kerajaan Mataram Kuno berada pada masa awal kejayaannya. Batu-batu andesit yang disusun rapi itu menjadi saksi bisu dari sebuah peradaban yang telah lama berlalu, namun jejak spiritualnya masih terasa, menempel pada udara dan tanah lereng Ungaran.(mc)

Waktu, seperti hutan, punya caranya sendiri menelan sejarah. Berabad-abad setelah Mataram Kuno meredup, Gedong Songo lenyap di balik rimbun pepohonan. Hingga pada 1740, seorang Belanda bernama Loten mencatat keberadaan reruntuhan di lereng Ungaran.

Thomas Stamford Raffles kemudian menyebutnya Gedong Pitu—tujuh bangunan—karena hanya itu yang terlihat saat itu. Baru pada 1908, Van Stein Callenfels menemukan dua kelompok candi lain. Nama Gedong Songo pun lahir, sekaligus menegaskan satu hal: sejarah sering kali tidak hilang, hanya menunggu untuk dibuka kembali.

Ketika Pewayangan Turun ke Gunung

Namun Gedong Songo tidak hidup hanya dari prasasti dan batu andesit. Ia juga hidup dari cerita.

Masyarakat setempat percaya Gunung Ungaran adalah tempat Hanoman menimbun Dasamuka (Rahwana) setelah perang besar Ramayana. Raksasa itu tidak mati, hanya tertimbun—dan rintihannya dipercaya menjadi asal-usul sumber air panas belerang di tengah kompleks candi.

Bau belerang yang menusuk hidung bukan sekadar fenomena geologi. Bagi warga, itu adalah napas legenda. Sejarah dan mitos di Gedong Songo tidak saling meniadakan; keduanya berjalan berdampingan, seperti siang dan kabut.

Mitos Candi Kesembilan

Pemilihan lereng Gunung Ungaran sebagai tempat suci bukanlah kebetulan. Dalam kosmologi Hindu, gunung dipandang sebagai poros semesta—axis mundi—tempat para dewa bersemayam, sekaligus penghubung antara dunia manusia dan kahyangan. Di ketinggian ini, doa diyakini lebih dekat pada langit, dan manusia belajar menundukkan diri di hadapan alam dan Yang Maha Kuasa.(mc)

Nama “Songo” menyimpan teka-teki. Hingga kini, pengunjung umumnya hanya melihat lima kelompok candi yang telah dipugar. Sisanya, menurut cerita, “tidak selalu menampakkan diri”.

Ada mitos yang beredar: siapa pun yang melihat candi kesembilan secara utuh akan mengalami kejadian ganjil—bahkan dipercaya tak berumur panjang. Benar atau tidak, mitos ini membuat Gedong Songo tetap punya jarak dengan kesombongan manusia. Tidak semua harus ditemukan. Tidak semua harus dijelaskan.

Gedong Songo Hari Ini

Kini, Gedong Songo menjadi destinasi wisata sejarah dan alam. Kuda-kuda wisata berjalan berdampingan dengan peziarah sunyi. Kamera bersanding dengan dupa. Anak-anak berlari di antara reruntuhan, sementara kabut tetap setia menjaga suasana.

Namun di balik geliat pariwisata, Gedong Songo masih mengajarkan hal lama: tentang kesabaran mendaki, tentang keheningan yang tidak instan, tentang sejarah yang tidak selalu lurus, dan tentang manusia yang, sejak dulu hingga kini, selalu mencari makna dengan cara berjalan.

Di Gedong Songo, perjalanan lebih penting daripada tujuan. Dan mungkin itulah sebabnya, candi-candi itu tidak disatukan—agar manusia ingat, bahwa mendekati yang luhur selalu membutuhkan langkah, bukan lompatan. (Fai)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments