spot_img
BerandaBudayaGamelan yang Bertahan di Tengah Lampu Merah

Gamelan yang Bertahan di Tengah Lampu Merah

Bunyi gamelan itu lirih, nyaris kalah oleh klakson, raungan mesin, dan gesekan rem. Nada-nadanya sering tersapu angin sebelum sempat mencapai telinga siapa pun. Orang-orang di sekitarnya lebih sibuk menatap lampu lalu lintas—menunggu hijau menyala, bersiap melaju, berpacu dengan waktu. Di perempatan itu, tak ada yang benar-benar santai. Semua tergesa, kecuali alunan gamelan yang berjalan dengan temponya sendiri.

LESINDO.COM – Sarungannya telah kehilangan kilau. Sarojan yang dikenakan tampak pudar warnanya, begitu pula blangkon yang menutup kepalanya—tak lagi pekat seperti dahulu. Namun pakaian kebesaran itu tetap ia kenakan dengan penuh hormat, seolah menjadi penanda jati diri yang enggan dilepaskan. Di tengah kerasnya kota, busana tradisi itu bukan sekadar pakaian, melainkan kebanggaan terakhir yang masih ia genggam.

Ia berdiri di sebuah perempatan sibuk di jantung Kota Yogyakarta. Matahari siang memantul di aspal, memanaskan udara yang telah sesak oleh deru kendaraan. Tanpa pelindung, tanpa jeda, tangannya tetap menabuh gamelan kecil yang menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Panas tak ia pedulikan; ritme tetap ia jaga, meski keringat mengalir perlahan membasahi wajahnya.

Bunyi gamelan itu lirih, nyaris kalah oleh klakson, raungan mesin, dan gesekan rem. Nada-nadanya sering tersapu angin sebelum sempat mencapai telinga siapa pun. Orang-orang di sekitarnya lebih sibuk menatap lampu lalu lintas—menunggu hijau menyala, bersiap melaju, berpacu dengan waktu. Di perempatan itu, tak ada yang benar-benar santai. Semua tergesa, kecuali alunan gamelan yang berjalan dengan temponya sendiri.

Sebagian pengendara melirik sekilas, sebagian lain pura-pura tak melihat. Tak sedikit pula yang matanya sama sekali tak berpaling—terkunci pada rambu dan jarum jam. Di tengah lalu lintas yang bising dan terburu-buru, keberadaannya seperti fragmen masa lalu yang terdampar di zaman yang tak lagi punya ruang untuk berhenti sejenak.

Ia terus memainkan gamelannya, entah didengar atau tidak. Seolah yang ia lakukan bukan semata mencari nafkah, melainkan menjaga denyut kebudayaan agar tak sepenuhnya tenggelam oleh aspal dan beton. Di perempatan itu, di antara lampu merah dan hijau yang silih berganti, ia bertahan dengan suara lembut yang mungkin hanya didengar oleh dirinya sendiri.

Tak ada yang tahu sampai kapan ia akan terus menabuh gamelan di sudut kota ini. Namun selama tangan itu masih bergerak, dan selama sarojan pudar itu masih ia kenakan, Yogyakarta—dengan segala hiruk-pikuk modernnya—masih menyimpan sepotong kesunyian yang setia berbunyi.

Kerasnya hidup ditengah kota satu-satunya ketrampilan adalah memainkan gamelan meski bising kendaraan bunyi gamelan tak terdengar tetap dia mainkan suara gamalen tersapu angin orang-orang hanya banyak melihatnya bahkan diantaranya mungkin tidak peduli karena mata terarah  pada trafik laigt untuk melihat rambu lampu jalanan yang setiap saat harus berjalan diperempatan jalan itu tidak ada yang santai kecuali suara lembut alunan gamelan yang sayup-sayup terdengar entah sampai kapan dia akan bertahan dan memainkannya.

Di rumah, ada yang menanti untuk sekadar sesuap nasi. Tak banyak yang ingin ia gapai dari hidup; yang terpenting baginya adalah mampu menghidupi keluarga tanpa menjadi beban bagi siapa pun. Jalanan bukan pilihan yang ia cita-citakan, melainkan ruang yang ia terima karena keadaan memaksanya demikian.

Sebagian orang memandangnya sebelah mata, seolah hidup di jalan adalah tanda kegagalan. Namun pandangan itu tak lagi ia pedulikan. Dengan pakaian ala kadarnya, ia tetap menggenggam budayanya. Sarojan dan blangkon yang ia kenakan mungkin tak lagi rapi, warnanya pun telah memudar, tetapi di sanalah tersimpan rasa hormat pada pakaian leluhur—pada jati diri yang tak ingin ia lepaskan.

Di tengah kerasnya hidup kota, ia bertahan bukan dengan amarah, melainkan dengan keteguhan yang sunyi. Jalanan menjadi saksi bahwa hidup kadang tak memberi banyak pilihan. Namun selama masih bisa bekerja dengan cara yang ia pahami, selama tangannya masih sanggup bergerak, ia akan terus bertahan—menjalani hari, satu lampu merah ke lampu merah berikutnya. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments