spot_img
BerandaBudayaGagah di Cerita, Letih di Dunia Nyata

Gagah di Cerita, Letih di Dunia Nyata

Ia melihat dunia gemerlap: lampu, tawa, kamera, gawai— lalu ia sadar, ia hanyalah tokoh besar yang hidup dalam tubuh yang kecil. Tokoh sakti yang kenyataannya harus pasrah kalah melawan harga kebutuhan hidup.

Oleh Dhen Ba Gus e Ngarso

Anoman Obong.
Nama yang di panggung selalu digembar-gemborkan: gagah, lincah, sakti mandraguna. Loncatannya bisa mecah geger, teriakannya bisa mbeset angin.
Tapi di dunia nyata, Anoman kadang cuma manusia biasa yang kesel napasi, keringetan, lan kadhang kudu nrimo bayaran sing ora pantes kanggo keringat yang jatuh dari dagunya.

Ing cerita pewayangan, Anoman nggladhi bala Rahwana tanpa gemeter.
Nanging ing areal pletaran Candi Arjuna, Anoman mung lungguh meneng, nyawang wisatawan sing gegojegan foto, nyuap anaknya jagung bakar, utawa mung ngrasani cuaca.
Anoman ndeleng, tapi ora melu gumuyu.
Ana sendu sing ora bisa dielus-elus nganggo bedak panggung.

Kadang ia hanya kebagian peran kecil:
dipanggil buat shooting TikTok, berdiri di bawah cahaya seadanya, digaji ora nganti rega cilok.
Nanging dilakoni, merga urip iki kadang mung perkara: nek ora tak lakoni, sopo maneh?

Ketika tak ada yang membutuhkan kostumnya, ia kembali menjadi seseorang yang bahkan tidak dikenal namanya.
“Anoman” tinggal menjadi kulit bulu putih yang digantung di sudut kecil, berbau keringat dan harapan yang pelan-pelan nguap.

Ia melihat dunia gemerlap: lampu, tawa, kamera, gawai—
lalu ia sadar, ia hanyalah tokoh besar yang hidup dalam tubuh yang kecil.
Tokoh sakti yang kenyataannya harus pasrah kalah melawan harga kebutuhan hidup.

Apa lagi yang bisa ditaklukkan?
Rahwana sudah lama mati.
Yang sulit dikalahkan justru kenyataan.

Namun, ada sesuatu yang tetap dia jaga:
keikhlasan untuk hadir, meski hanya sebagai hiburan lima menit, meski hati kadang memar oleh sunyi yang tak ada penonton.

Dunia mungkin tidak butuh Anoman.
Tapi dunia selalu butuh orang-orang kecil yang masih mau menjalani perannya dengan sepenuh jiwa—
meski tidak ada tepuk tangan, tidak ada sorakan,
hanya ada angin gunung yang pelan-pelan menghapus lelahnya.

Dan di situ, entah kenapa,
Anoman menjadi lebih manusiawi daripada yang pernah ditulis dalam kitab apa pun.

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments