LESINDO.COM – Pagi di Pasar Gede Solo selalu punya cara sendiri untuk menyapa. Dari luar, suasananya tampak biasa saja—beberapa pedagang membuka lapak, lalu lalang mulai merayap perlahan. Namun begitu kaki melangkah masuk ke perut pasar, denyut kehidupan tiba-tiba memadat. Hiruk-pikuk itu seperti alunan gamelan yang pelan-pelan naik volumenya, menyelimuti aroma bumbu dapur, sayur segar, hingga jajanan tradisional yang seolah tak pernah lekang oleh waktu.
Di salah satu sudut lorong yang tak begitu lebar, sebuah kerumunan tampak menutup jalur. Orang-orang berdiri rapat, saling menunggu, sesekali menyibak jalan untuk memberi ruang pada yang ingin lewat. Di tengah kepadatan itu, sebuah papan kecil bertuliskan Es Dawet & Gempol Pleret Hj. Sipon berdiri sederhana—namun justru menjadi magnet yang membuat aliran manusia menumpuk.
Dari Mangkok Kecil yang Mencuri Perhatian
Semangkuk kecil es dawet tersaji di tangan pembeli. Dawet yang lembut, kuah santan yang gurih, dan manis gula jawa yang tak menusuk, berpadu menjadi kesejukan kecil yang tuntas. Namun ada satu hal yang menjadikannya istimewa: keberadaan gempol pleret. Dua bulatan kenyal dengan rasa gurih-manis itu seolah menyempurnakan tegukan pertama, membuat siapa pun ingin menahan momen segarnya lebih lama.
“Seger tenan, Le…,” gumam seseorang setelah menyeruput sendok pertama. Dan komentar itu bukan isapan jempol—antrian panjang di depan stan Hj. Sipon menjadi bukti paling jujur.
Kerumunan yang Menghidupkan Lorong Pasar

Lorong yang sebenarnya hanya cukup untuk beberapa orang berjalan berdampingan menjadi seperti sungai kecil yang mendadak banjir. Pembeli berdiri rapat, menunggu giliran, sembari sesekali melongok ke belakang takut ada yang menyenggol mangkuk es cendol dawet yang siap diserahkan.
Bagi mereka yang sekadar lewat, langkah harus diperlambat. Sedikit miring ke kanan, lalu ke kiri. Kadang berhenti sejenak memberi ruang. Semua seperti saling mengerti bahwa stan Bu Hj. Sipon memang punya “hak istimewa” menciptakan kemacetan kecil di pagi hari.
Duduk pun menjadi kemewahan tersendiri. Kursi panjang yang disediakan hanya mampu menampung beberapa orang. Selebihnya rela menikmati es dawet sambil berdiri, menyeimbangkan mangkuk sambil menjaga agar tak tersenggol pembeli lain yang mencari tempat kosong.
Warisan Rasa yang Tak Lekang

Stan kecil itu tak hanya menjual es dawet; ia menjajakan rasa masa lalu. Rasa yang sering diceritakan para orang tua kepada anak-cucu—tentang jajan pasar yang tak pernah berubah meski zaman berlari cepat. Reputasi Hj. Sipon sendiri sudah melekat lama di masyarakat Solo. Setiap seruput es dawet dan gempol pleret seperti membawa pulang ingatan tentang tradisi yang dijaga penuh kesabaran.
Di tengah derasnya kafe modern, minuman kekinian, dan ragam kuliner viral, es dawet ini tetap berdiri dengan kesahajaannya. Tidak butuh lampu sorot, tidak perlu papan neon. Cukup rasa yang jujur, kehangatan pelayanan, dan kesetiaan pembeli yang turun-temurun.
Di Pasar, Setiap Pagi Adalah Perayaan Kecil
Pagi itu, Pasar Gede menunjukkan dirinya sebagai ruang hidup yang tak pernah tidur. Dari pedagang sayur yang menawarkan dagangan, penjual rempah yang merapikan bungkusannya, hingga para pembeli yang sibuk menawar harga terbaik—semuanya menyatu dalam tarian harian yang tak pernah sama.
Dan di tengah pusaran itu, Es Dawet & Gempol Pleret Hj. Sipon menjadi jeda kecil. Tempat orang-orang berhenti sejenak, menetralkan penat, dan merayakan kesegaran dalam mangkuk mungil.
Seperti sebuah ritual, pembeli menghabiskan suapan terakhirnya, meletakkan mangkuk kosong, lalu kembali larut dalam kesibukan pagi. Namun kenangan tentang rasa segar yang menetes di lidah akan selalu tinggal, menjadi alasan untuk kembali esok hari. (Et)

