Oleh : TilotamaÂ
Di Desa Tawangrejo, Kecamatan Gemarang, Kabupaten Madiun, hukum bekerja dengan disiplin yang nyaris patut diberi piagam. Cepat, tegas, tanpa kompromi. Sasarannya jelas: seorang petani pinggir hutan bernama Darwanto (45), lelaki yang kesehariannya lebih akrab dengan tanah jagung ketimbang pasal-pasal undang-undang.
Kesalahannya terdengar sederhana, bahkan nyaris remeh jika tidak dibaca dengan kaca pembesar hukum konservasi: memelihara enam ekor Landak Jawa. Bukan memperdagangkan. Bukan memburu. Bukan menyelundupkan. Hanya merawat, setelah dua di antaranya terperangkap jaring sederhana yang ia pasang untuk melindungi ladang jagungnya dari serangan satwa liar.
Namun hukum tidak mengenal niat baik. Ia hanya mengenal pasal.
Enam ekor Hystrix javanica itu cukup untuk mengantar Darwanto ke ruang tahanan. Dua bulan lamanya. Cepat. Efisien. Tanpa drama. Tanpa konferensi pers berliku. Tanpa pengacara mahal yang mengutip asas praduga tak bersalah dengan nada tinggi.
Bandingkan dengan kasus-kasus besar yang sering kita tonton sebagai sinetron panjang: ilegal logging yang menelanjangi hutan, tambang ilegal yang menggerus gunung, penimbunan BBM yang menguras hak publik, atau korupsi berjilid-jilid yang sidangnya lebih mirip opera sabun. Di sana, hukum tampak gemar berpuasa—menahan diri, menimbang-nimbang, bahkan kadang lupa jalan pulang.
Pada Darwanto, hukum justru tampil rajin.
Kuasa hukumnya, Suryajiyoso dari LKBH UIN Ponorogo, mengakui dakwaan jaksa memang berdasar aturan. Tapi ia mengingatkan sesuatu yang sering tercecer di ruang sidang: konteks sosial.
Darwanto adalah petani pinggiran hutan. Pendidikan hukumnya nol. Akses informasinya terbatas. Ia tidak pernah membaca daftar satwa dilindungi, apalagi memahami konsekuensi pidananya. Yang ia tahu hanya satu: jagungnya rusak, dan keluarganya harus makan.
Ironi makin terasa ketika kuasa hukum menyinggung preseden di Bali. I Nyoman Sukena, dengan kasus serupa, justru divonis bebas oleh PN Denpasar pada 19 September 2024. Di sana, hakim melihat niat, bukan sekadar pasal. Di Madiun, niat kalah cepat oleh borgol.
Hukum, rupanya, punya selera. Tajam ke bawah, tumpul ke atas—sebuah pepatah lama yang terus relevan, seolah dihafal di luar kepala oleh rakyat kecil.
Enam landak menjadi bukti betapa negara bisa begitu sigap ketika berhadapan dengan warga yang tak punya apa-apa untuk dilawan, selain tubuhnya sendiri. Tak perlu drama. Tak perlu lobi. Tak perlu tarik-ulur. Prosesnya lurus dan kilat, seperti anak panah yang dilepas tanpa ragu.
Pertanyaannya sederhana namun pedas: apakah keadilan memang dimaksudkan untuk seefisien ini—asal korbannya tepat sasaran?
Di ladang jagung Desa Tawangrejo, Darwanto kini belajar hukum dengan cara paling mahal: dari balik jeruji. Sementara hutan-hutan yang dirampok berjuta kali lipat dari enam ekor landak, entah kapan akan merasakan ketegasan yang sama.
Mungkin hukum memang tidak butuh drama. Tapi keadilan, jelas butuh nurani.

