spot_img
BerandaHumanioraEmpat Piala dari GOR RM Said: Ketika Gita Irama Menabuh Semangat Anak-anak...

Empat Piala dari GOR RM Said: Ketika Gita Irama Menabuh Semangat Anak-anak Pucangan

Melodi Medley Lagu Nusantara mengalun: Bungong Jeumpa yang wangi dari Aceh, Paris Barantai yang ritmis, Jaranan yang riuh, hingga Yamko Rambe Yamko yang selalu memantik energi. Penonton bersorak, beberapa juri tampak mengangguk mengikuti ketukan.

LESINDO.COM – Minggu pagi itu, udara lembap di sekitar GOR RM Said belum benar-benar menguap ketika langkah-langkah kecil berseragam warna merah menyala lebih  dominan kunning mulai memenuhi halaman. Satu per satu, anak-anak SDN Pucangan 04 Kartasura berkumpul dengan wajah yang sama: tegang, tapi berkilat oleh antusiasme. Di tangan mereka, stik drum, bass strap, hingga tongkat komando seolah menjadi perpanjangan dari mimpi yang sudah ditempa selama berbulan-bulan latihan.

Di tengah barisan itu berdiri tiga mayoret: Adelia Salsabila, Aeshel Anleosy Wicaksono, dan Nilam Cahya Dwi Hidayatuzzahro. Di belakang mereka, seorang gadis kecil memegang tongkat komando dengan mantap—Fathin Lakeisha Athaya Raswndriya, sang gitapati. Dari sinilah denyut irama Gita Irama bermula.

Jejak Latihan di Pucangan

“Anak-anak ini kalau sudah latihan, seperti lupa waktu,” ujar Abdullah Siregar, pelatih marching band Gita Irama, ketika ditemui sehari sebelum keberangkatan. “Mereka tahu bahwa musik dan barisan tidak bisa dibohongi. Kalau satu hilang fokus, semua ikut berantakan.”

Di sekolah, suara pukulan snare yang berulang-ulang sering menjadi latar siang hari. Di lorong kelas, beberapa anak melatih pola langkah, mencoba mengikuti pola beat Fathin yang berdiri tegak di tengah lapangan. Ada yang wajahnya masih belepotan debu, ada pula yang masih tertawa meski kelelahan. Namun justru dari kelelahan bersama itulah, tim ini tumbuh.

Festival dan Degup Gugup yang Tak Terhindarkan

Tepat pukul sembilan pagi, pengumuman peserta memasuki arena membuat jantung mereka serempak berdegup lebih cepat. Udara GOR yang dingin tidak mampu meredam gelombang gugup yang menjalar di barisan Gita Irama. Namun begitu mayoret mengangkat tongkatnya dan Fathin menjentikkan komando pertama, semuanya jatuh pada tempatnya.

Melodi Medley Lagu Nusantara mengalun: Bungong Jeumpa yang wangi dari Aceh, Paris Barantai yang ritmis, Jaranan yang riuh, hingga Yamko Rambe Yamko yang selalu memantik energi. Penonton bersorak, beberapa juri tampak mengangguk mengikuti ketukan.

Ketika Nama Mereka Dipanggil

Para mayoret dan gitapati, yang masing-masing meraih Juara 1, berdiri di barisan depan sambil memegang piala mereka. Senyum mereka mengembang, memancarkan kebanggaan sekaligus kepercayaan diri setelah perjuangan panjang di arena festival. (mc)

Siang menjelang sore hari, ketika pengumuman juara tiba, anak-anak itu duduk sambil meremas telapak tangan masing-masing. Lalu, suara MC menggema:

  • “Juara 1 Mayoret — SDN Pucangan 04!”
  • “Juara 1 Gitapati — SDN Pucangan 04!”
  • “Juara 1 Klasemen Dasar — SDN Pucangan 04!”
  • “Juara 1 Display — SDN Pucangan 04!”

Empat kali nama sekolah mereka dipanggil. Empat kali teriakan kecil pecah. Dan empat kali pula anak-anak itu saling berpelukan, beberapa sampai menitikkan air mata.

Di sisi lain, kepala sekolah Dra. Sri Rahayu, M.Pd hanya tersenyum sambil menahan haru.

“Anak-anak ini bekerja sangat keras. Prestasi ini bukan sekadar piala, tapi bukti bahwa disiplin dan semangat bisa membawa mereka melampui batas diri,” ujarnya.

Langkah Sekolah yang Tengah Berubah

SDN Pucangan 04 kini tengah menata diri sebagai Sekolah Berbasis Digital, namun hari itu mereka membuktikan bahwa teknologi hanyalah salah satu sayap. Sayap lain yang tak kalah penting adalah karakter: kerja keras, kerjasama, dan kegigihan.

Dalam rombongan besar berisi 58 pemain itu, setiap anak punya peran: dari bass drum yang menjadi tulang punggung irama hingga simbal yang menguatkan ledakan akhir lagu. Tapi bagi mereka, yang jauh lebih penting adalah rasa menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.

Dan ketika matahari condong petang, mereka pulang dengan empat piala di tangan—dan sebuah keyakinan baru di hati: bahwa kerja keras kecil dari sebuah sekolah pinggiran kota bisa bergema keras di panggung Karisidenan Surakarta. (mac)

RELATED ARTICLES

Most Popular

Recent Comments